Kamis, 30 April 2009
Suara Ali Maschan Diusik
Terkait dugaan penggelembungan suara tersebut, Crisis Centre KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) Kabupaten Malang, dalam laporannya ke panwaslu mengusik perolehan suara Ali Maschan Moesa, Caleg DPR RI dari PKB.
Menurut Ketua Crisis Centre KIPP Malang Raya, M Roul, kemenangan mantan pasangan Soenarjo yang gagal memenangi Pilgub Jatim ini, sangat tidak wajar.
KIPP menemukan dugaan manipulasi suara oleh petugas KPPS dan PPK untuk kemenangan Pak Ali.
�Kami menemukan ketidakberesan kemenangan yang diperoleh oleh partai nomor 13 dengan caleg nomor urut satu,� katanya, kemarin.
Pihaknya menengarai ada permainan manipulasi suara oleh oknum penyelenggara pemilu secara sistematis hingga suara caleg dan partai selalu berubah di setiap tingkatan.
Atas temuan itu, kemarin Roul mendatangi kantor panwaslu dengan didampingi Ketua KIPP Malang. Nurhadi, membawa segebok bukti terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh struktur PKB untuk kemenangan Ali Maschan.
Sementara, Mohamad Wahyudi, salah satu anggota Panwaslu Kabupaten Malang, mengaku masih belum bisa memberikan penjelasan terkait laporan KIPP tersebut.
�Tunggu dulu, Mas. Kami masih akan pelajari dulu, karena laporan KIPP masih banyak yang harus kita cros cek dengan data milik panwas,� tegas dia. (han,mai)
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=15903
Pemantau Temukan Indikasi Penggelembungan Suara Partai
TEMPO Interaktif, Malang: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Malang menemukan adanya indikasi penggelembungan perolehan suara hasil pemilu legislatif 2009 pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk kursi DPR RI.
"Ada selisih antara hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan hasil di tingkat Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK)," kata Koordinator Crisis Center KIPP Malang Raya, Mohammad Raoul, Senin (27/4)
Berdasarkan data yang diperoleh KIPP, penggelembungan suara PKB untuk DPR ini terjadi di sembilan kecamatan, yakni Kecamatan Karangploso (40 persen), Kalipare (36 persen), Ngajum (82 persen), Sumbermanjing (41 persen), Jabung (68 persen), Pakis (70 persen), Singosari (41 persen), Bululawang (26 persen), dan Pujon (19 persen).
Di Karangploso, misalnya, berdasarkan hasil penghitungan di tingkat PPS, perolehan suara PKB untuk DPR RI hanya 2.526 suara, tetapi di tingkat PPK perolehan suaranya berubah menjadi 4.198 suara atau terjadi penggelembungan sebanyak 40 persen.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB Kabupaten Malang, Sanusi, mengaku belum tahu temuan KIPP tersebut. Menurut dia, bila terjadi penggelembungan suara di PKB, tentu bukan tindakan DPC PKB Kabupaten Malang.
"Tidak mungkin PKB melakukan itu. Penggelembungan suara mungkin terjadi karena kesalahan penghitungan oleh petugas KPPS, PPS, PPK atau KPU. Atau, bisa jadi juga ada petugas yang main-main," katanya.
Selain penggelembungan suara, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Malang menuduh KPUD Kabupaten Malang telah mengubah hasil penghitungan suara seorang calon anggota legislatif. Ini dilakukan KPUD saat melakukan penghitungan suara yang tidak melibatkan saksi dan Panwaslu.
"Hasil penghitungan suara yang dikirimkan KPUD ke KPU Provinsi Jawa Timur berbeda dengan hasil penghitungan suara Panitia Pengawas Kecamatan (PPK). Ini merugikan sejumlah caleg," ujar anggota Panwaslu Kabupaten Malang M Wahyudi.
Menurut Wahyudi, bukti yang diterima Panwaslu adalah suara caleg nomor urut dua dari daftar pemilihan V Cucuk Sumartono dari Partai Gerindra. Saat penghitungan suara di PPK, Cucuk mendapatkan 1.519 suara, dan jumlah suara itu sama dengan caleg dari dapil yang sama, nomor urut satu Indahwati, yang juga dari Partai Gerindra.
Namun, saat jumlah suara dikirim ke KPU Jatim, suara yang didapat Cucuk menyusut 30 suara, sedangkan suara Indawati bertambah menjadi 1.549 suara.
BIBIN BINTARIADI
http://tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MTcyOTQy
Minggu, 12 April 2009
PRESS RELEASE KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU (KIPP) KOTA MALANG: KPU HARUS ADAKAN PEMILU LANJUTAN !
Selain tertukarnya surat suara di TPS 44, Bandungrejosari Janti, Sukun dan di TPS 49, Kota Lama, Kedungkandang, KIPP juga mendapat kabar tertukarnya surat suara terjadi pula di TPS 23, Kelurahan Jatimulyo, Lowokwaru. Ketika terjadi surat suara antar dapil tertukar seharusnya KPU Kota Malang menginstruksikan kepada KPPS untuk menghentikan pemungutan suara sesegera mungkin. Namun KPU Kota Malang lamban mengantisipasi kejadian tersebut.
Tertukarnya surat suara antar dapil tersebut menunjukkan ketidaksiapan KPU Kota Malang dalam menyelenggarakan pemilu. Ironisnya, “dosa” ketidaksiapan KPU Kota Malang tersebut justru terhapuskan melalui Surat Edaran KPU Pusat No.676/KPU/IV/2009 tertanggal 9 April 2009. Dengan adanya Surat Edaran tersebut surat suara di TPS yang tertukar dari dapil lain tetap disahkan dan dihitung sebagai suara partai.
Setelah melakukan kajian terhadap Surat Edaran dari KPU tersebut, KIPP Kota Malang mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.Surat Edaran No.676/KPU/IV/2009 tertanggal 9 April 2009 merupakan bentuk pembenaran atas ketidaksiapan KPU di daerah, khususnya KPU Kota Malang. Bukannya dibenahi, ketidaksiapan KPU Kota Malang seolah-olah diberi legitimasi melalui “payung hukum” surat edaran.
2.Surat Edaran No.676/KPU/IV/2009 tertanggal 9 April 2009 telah mencederai hak konstitusional warga negara untuk memilih maupun dipilih. Walaupun surat suara tersebut kemudian dihitung sebagai suara partai, namun surat edaran tersebut telah menghilangkan kesempatan seorang caleg untuk dipilih oleh konstituennya ataupun keinginan seorang warga negara untuk memilih wakilnya secara langsung.
3.Surat Edaran No.676/KPU/IV/2009 tertanggal 9 April 2009 tidak dapat mengatur substansi yang seharusnya diatur dalam undang-undang. Surat edaran hanya dapat mengatur hal-hal teknis dari yang sebelumnya telah diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka KIPP Kota Malang mengambil sikap sebagai berikut:
1.Menolak segala bentuk legitimasi atas ketidaksiapan KPU Kota Malang dalam menyelenggarakan pemilu. KPU Kota Malang seharusnya lebih sigap dalam mengantisipasi berbagai efek domino ketidaksiapan penyelenggaraan Pemilu.
2.Menuntut KPU menarik kembali Surat Edaran No.676/KPU/IV/2009 tertanggal 9 April 2009 karena surat edaran tersebut telah mencederai hak konstitusional warga negara.
3.Menuntut KPU Kota Malang untuk menyelenggarakan Pemilu lanjutan bagi TPS-TPS yang surat suaranya tertukar, sebagaimana diatur dalam Pasal 228 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Demikian analisa dan sikap KIPP Kota Malang. Semoga KPU dan KPU Kota Malang segera membenahi kualitas kerjanya sehingga kesemrawutan Pemilu tidak terulang lagi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) bulan Juli nanti.
Jumat, 10 April 2009
KIPP: KPU Melakukan Pelanggaran HAM
Sondakh menyatakan, KPU telah melakukan pelanggaran HAM. “Hak memilih dan dipilih itu kan hak dasar demokrasi. Jika hilangnya hak itu disebabkan oleh DPT, maka KPU itu pelanggar HAM,” jelasnya.
Gugatan yang diajukan KIPP ini berdasar hasil survei yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Sekjen KIPP Jojo Rohi menyatakan, KIPP telah menurunkan 10.000 relawan yang diterjunkan di 33 provinsi dan 424 kabupaten atau kota. “Berdasar laporan sementara lewat via telepon, jumlah masyarakat yang tidak terdaftar DPT sangat besar,” katanya.
Ia menilai, KPU selama ini hanya menganggap masalah DPT itu teknis saja ternyata menjadi masalah substansial. “Kami curiga kesalahan ini dilakukan by design karena ada kepentingan untuk memenangkan partai tertentu,” jelasnya.
KIPP akan mengadukan ke Bawaslu dan mendesak mereka membentuk badan kehormatan karena kesalahan DPT ini harus mendapat perhatian.
Menanggapi hal ini, koordinator Penanganan Pelanggaran Bawaslu, Nunung Wirdyaningsih, mengatakan, belum ada pengaduan KIPP menyangkut hal ini. “Kita pasti tindak lanjuti bila ada bukti yang kuat,” katanya. mys/kcm
http://www.surya.co.id/2009/04/10/kipp-kpu-melakukan-pelanggaran-ham/
KPUD Terancam Di-Class Action, KIPP : KPU Tidak Siap Gelar Pemilu
PAN secara nyata terlambat sehari menyerahkan rekening dana kampanye. Namun KPUD tidak memberi sanksi. Buntut kasus itu, Forum Peduli Pemilu Bersih Kabupaten Malang bakal melakukan class action pada KPUD Kabupaten Malang.
“KPUD tidak serius sebagai penyelenggara pileg. Mengapa KPUD tidak mencoret PAN sehingga tetap ikut pileg? Ada apa ini semua?” kata Kuasa hukum Forum Peduli Pemilu Bersih Kabupaten Malang, Darmadi SH, Jumat (10/4).
Rencananya, class action ini akan daftarkan ke Pengadilan Negeri minggu depan.
Ketua Panwas Kabupaten Malang, Ali Wahyudin SH, mengatakan, Panwas sudah mengirim surat ke KPUD terkait kasus tersebut. Namun surat Panwas tidak dibalas KPUD. “Panwas juga sudah melaporkan ke Bawaslu, dengan harapan agar dilanjutkan ke KPU pusat,” ujar Ali.
Menanggapi hal itu, Nahrowi, Ketua KPUD Kabupaten Malang, balik menantang. Menurutnya, semua yang dilakukan KPUD sudah prosedural. “Silahkan mau menggugat. Itu malah bagus. Kami akan menunggunya,” ujar Nahrowi, Jumat (10/4).
Sebelumnya, KPUD mengundang semua parpol yang jadi peserta pemilu. KPUD menyatakan akan mencoret parpol yang terlambat menyetorkan rekening dana kampanye. PAN baru menyetorkan rekening dana kampanye, Selasa (10/3) siang. Ternyata, rekening PAN tetap diterima meski terlambat sehari.
Sementara Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) se Malang Raya mengatakan KPU tidak siap menggelar pileg. Dari pantauannya selama pileg, banyak dampak negatif dati ketidaksiapan itu.
Ketua KIPP Kota Malang, Sigit Nurhadi dalam siaran persnya mengatakan dampak tersebut antara lain, akibat kurangnya sosialisasi angka golput sangat tinggi, termasuk juga warga yang tidak terdaftar di DPT, serta surat suara yang tertukar. “Buruknya manajemen pelaksanaan pileg ini mencerminkan efek domino dari ketidak siapan KPU se Malang Raya,” tegasnya.st12
http://www.surya.co.id/2009/04/11/kpud-terancam-di-class-action-kipp-kpu-tidak-siap-gelar-pemilu/
KIPP Hitung Golput 50 Persen
Sigit Nurhadi, ketua KIPP Kota Malang, mencontohkan TPS 02 Desa Ardirejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Tingkat golput mencapai 46 persen. Di TPS 03 Blimbing, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tingkat golput mencapai 45,02 persen. Di TPS 42 Kelurahan Bunulrejo, Blimbing, angka golput menembus 55,10 persen. Termasuk di TPS 13 Kelurahan Blimbing, tingkat golput adalah 49,47 persen.
''Jadi memang partisipasi masyarakat rendah. Ini seperti yang kami prediksi,'' ungkap Sigit kepada **********Radar kemarin (10/4).
Menurut Sigit, golput yang tinggi itu terjadi karena tingkat sosialisasi masih rendah. Dengan kerumitan pencontrengan plus jumlah caleg yang banyak, pemilih tidak cukup mengerti hanya dengan sosialisasi dari tetangganya. Semestinya, harus ada upaya masif untuk mendidik masyarakat agar paham dengan teknis mencentang.
Persoalan DPT juga menjadi penyebab tingginya angka golput. Proses penyusunan DPT membuat banyak warga masyarakat yang tidak terdaftar. Padahal, mereka masuk DPS (daftar pemilih sementara). Selain itu, banyak nama dalam DPT yang dobel sehingga mengurangi porsi pemilih riil. Termasuk nama-nama yang tidak berhak. ''Angka DPT sepertinya besar. Tetapi, yang tidak riil bisa jadi banyak sekali,'' sesalnya.
Hal-hal yang terkait dengan buruknya manajemen pelaksanaan pemungutan suara juga menjadi temuan KIPP. DI TPS 03 Ketawanggede, Lowokwaru, Kota Malang, misalnya, banyak ditemukan stiker caleg di lokasi pembangunan TPS. Letak stiker-stiker itu pas menghadap deretan pemilih yang tengah antre. ''KPU harus berbenah,'' saran Sigit. (yos/jpnn/end)
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=62844
PRESS RELEASE KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU (KIPP) SE-MALANG RAYA PEMILU 2009 = BUKTI NYATA KETIDAKSIAPAN KPU
Pemilu 2009 telah selesai dilaksanakan. Pesta demokrasi lima tahun sekali ini tinggal menunggu hasilnya. Walaupun secara sekilas penyelenggaraan pemilu terlihat lancar, namun KIPP se-Malang Raya memiliki beberapa catatan atas penyelenggaraan pemilu di Malang Raya. Inti dari catatan KIPP se-Malang Raya adalah bahwa KPU se-Malang Raya ternyata tidak siap menyelenggarakan Pemilu pada 9 April 2009 sehingga memunculkan banyak kejanggalan di lapangan. Hal ini sungguh ironis karena satu hari sebelum Pemilu Ketua KPU Pusat, Abdul Hafiz Anshary, mengatakan bahwa persiapan Pemilu sudah tuntas. Entah logika apa yang dipakai penyelenggara pemilu di negara ini sehingga mereka menganggap semuanya baik-baik saja. Kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
KIPP se-Malang Raya setelah pemantauannya pada 9 April 2009 merumuskan beberapa catatan yang menunjukkan ketidaksiapan KPU se-Malang Raya. Beberapa ketidaksiapan memunculkan dampak negatif yang signifikan terhadap partisipasi pemilih. Catatan KIPP se-Malang Raya atas penyelenggaraan Pemilu di Malang Raya antara lain:
1. KPU Kota Malang dan KPU Kabupaten Malang menunjukkan ketidaksiapannya untuk memfasilitasi pemantau. KPU Kota Malang dan KPU Kabupaten Malang justru terlihat mempersulit KIPP Kota Malang dan KIPP Kabupaten Malang melalui birokrasi yang berbelit. Salah satu contoh ketidaksiapan KPU Kota Malang dan Kabupaten Malang adalah dengan tidak bersedia mengeluarkan tanda pengenal pemantau bagi KIPP Kota Malang dan Kabupaten Malang. Padahal Pasal 235 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu mengatur bahwa tanda pengenal pemantau dikeluarkan oleh KPU. KPU Kota Malang justru meminta KIPP Kota Malang untuk membuat sendiri tanda pengenal pemantau. KPU Kota Malang tampaknya lupa terhadap kewajiban yang telah diamanatkan oleh undang-undang.
2. KIPP se-Malang Raya pada dua bulan sebelum Pemilu pernah merilis hasil survei terhadap pemilih pemula yang menunjukkan bahwa potensi golput masih cukup tinggi. Dan ternyata pada hari H potensi golput tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Pemantauan KIPP se-Malang Raya menunjukkan bahwa hampir 50% dari pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak menggunakan haknya. Sebagai contoh adalah di TPS 02, Desa Ardirejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di TPS tersebut tingkat golput mencapai 46%. Di TPS 03 Kelurahan Blimbing, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tingkat golput mencapai 45,02%. Di TPS 42, Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tingkat golput mencapai 55,10%. Di TPS 13, Kelurahan Blimbing, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tingkat golput mencapai 49,47%. Data ini menunjukkan KPU se-Malang Raya pada hari H benar-benar memetik buah dari buruknya sosialisasi yang mereka lakukan sebelum pemilu. Dengan tingkat golput yang sedemikian tinggi, legislator-legislator kita nantinya adalah legislator-legislator yang berlegitimasi rendah.
3. Pada hari H kekhawatiran KIPP se-Malang Raya bahwa DPT masih akan menjadi masalah kronis dalam penyelenggaraan pemilu kali ini benar-benar menjadi kenyataan. Tingkat transparansi DPT terhadap pemilih di Malang Raya sungguh buruk. Hampir seluruh TPS di Malang Raya tidak menempelkan DPT di TPS agar dapat dilihat oleh masyarakat. Padahal KPPS wajib menempelkan DPT di TPS agar masyarakat mengetahui apakah mereka benar-benar terdaftar atau tidak. Ditempelnya TPS juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kemungkinan pemilih ganda ataupun pemilih yang seharusnya tidak berhak. Petugas KPPS di TPS-TPS yang dipantau oleh KIPP beralasan bahwa KPU hanya memberikan satu salinan DPT.
Selain itu KIPP menemukan bahwa masih ada warga yang seharusnya memiliki hak untuk memilih namun tidak terdaftar di DPT. Padahal pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) lalu mereka terdaftar di DPT. Di Dusun Kendal, Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, RT 04, RW 09, KIPP menemukan satu keluarga yang tidak tercantum dalam DPT padahal pada Pilgub lalu mereka tercatat sebagai pemilih. Selain itu KIPP mendapatkan laporan bahwa tedapat sekitar 20 orang di Dusun Sentong, Desa Rembun, Kecamatan Dampit yang tidak terdaftar di DPT padahal pada Pilgub lalu mereka masih terdaftar di DPT. Bukti ini menunjukkan bahwa pendataan KPU di Malang Raya sangat buruk dan berakibat fatal dengan mengorbankan hak pilih warga negara.
4. Pada hari H KIPP se-Malang Raya juga menemukan buruknya manajemen pelaksanaan pemungutan suara di KPPS. Buruknya manajemen pelaksanaan pemungutan suara bisa disebabkan oleh buruknya sosialisasi KPU tentang aturan pelaksanaan pemungutan suara terhadap KPPS. KIPP se-Malang Raya menemukan beberapa keganjilan dalam pelaksanaan pemungutan maupun penghitungan suara oleh KPPS. Data yang didapat KIPP se-Malang Raya antara lain sebagai berikut:
- Di TPS 03, Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, KIPP menemukan bahwa TPS dibuat di halaman rumah kosong dan tempat duduk antrian pemilih ditempatkan di dekat kaca jendela rumah yang dipenuhi oleh tempelan stiker caleg Agus Suryanto dan Teguh Puji Wahyono dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Wahyu Agus Ariadi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
- Di TPS 05, Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, KIPP menemukan salah satu pemilih tidak dapat melaksanakan hak pilih di TPS karena sakit sehingga petugas KPPS melakukan pemungutan suara di rumah pemilih. Namun pencontrengan kertas suara tidak dilakukan oleh pemilih. Pencontrengan malah diwakilkan oleh kerabat pemilih.
- Masih di TPS 05, KIPP menemukan posisi bilik suara yang tidak memenuhi asas kerahasiaan dimana bilik suara ditempatkan di depan pintu masuk rumah yang menghubungkan ke tempat diletakkannya konsumsi petugas KPPS. Hal ini mengakibatkan petugas KIPP yang hilir mudik dapat melihat pilihan yang diberikan oleh pemilih.
- KIPP menemukan buruknya pemahaman petugas KPPS terhadap aturan yang menentukan sahnya suara. Di beberapa TPS petugas KPPS menyatakan tidak sah bagi kertas suara yang dicontreng tanpa ujung pangkal ( ⁄ ), kertas suara yang dicontreng dua kali yaitu pada kolom nama caleg dan partai, dan kertas suara yang tercoblos. Padahal KPU telah menyatakan bahwa jenis-jenis penandaan seperti itu tetap dinyatakan sah. Temuan ini kembali menunjukkan buruknya sosialisasi aturan dari KPU terhadap KPPS.
Temuan dan data-data yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa Pemilu 2009 benar-benar dilaksanakan dengan penuh ketidaksiapan. Tuntutan KIPP se-Malang pada melalui press release dua hari sebelum pemilu bahwa KPU se-Malang Raya harus memperbaiki kinerjanya pada hari H ternyata tidak diindahkan. Pada akhirnya analisa dan kekhawatiran KIPP se-Malang Raya benar-benar menjadi kenyataan. Buruknya manajemen pelaksanaan pemilu pada hari H mencerminkan efek domino dari ketidaksiapan KPU se-Malang Raya sejak awal persiapan Pemilu. Sungguh fatal, ketidakmauan KPU mendengarkan kritik harus dibayar mahal oleh rakyat.
Malang, 10 April 2009
Sigit Nurhadi Siswo Suwarjono Felik Sad Windu
Ketua KIPP Kota Malang Ketua KIPP Kab.Malang Ketua KIPP Kota Batu
Selasa, 07 April 2009
SIKAP POLITIK KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU se-MALANG RAYA (KIPP KOTA MALANG, KIPP KABUPATEN MALANG, KIPP KOTA BATU): “WASPADAI PEMILU CURANG!”
Awal ketidaksiapan penyelenggara pemilu telah dimulai dengan minimnya sosialisasi terhadap pemilih. KIPP se-Malang Raya 2 bulan lalu berdasarkan hasil surveinya telah memberikan gambaran bahwa minimnya sosialisasi dapat berbanding lurus terhadap partisipasi pemilih pada hari pemilihan. Namun apologi yang muncul selama ini adalah minimnya dana bagi KPU di daerah untuk melakukan sosialisasi. Padahal sosialisasi pemilu adalah tahapan awal yang vital dalam menentukan kesuksesan pemilu dari perspektif partisipasi. Hal ini membuktikan bahwa penyelenggara pemilu sejak awal tidak siap melaksanakan tugasnya secara total. Ketidaksiapan penyelenggara pemilu sejak awal dapat menjadi pemicu efek domino yang lebih besar pada hari H hingga ke tingkatan KPPS.
Masalah besar lain yang dicemaskan oleh KIPP se-Malang Raya adalah ketidakakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berpotensi menjadi penggelembungan suara. Pemilihan Gubernur Jawa Timur telah menjadi preseden bahwa DPT menjadi titik kecurangan paling rawan. KIPP se-Malang Raya mengindikasikan bahwa potensi kecurangan melalui DPT tetap ada pada 9 April 2009 nanti.
Masalah klasik lain yang diindikasikan akan tetap terulang pada pemilu kali ini adalah politik uang (money politic) dalam berbagai variannya. Sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak turut menjadi stimulus digunakannya metode politik uang dalam memenangkan persaingan di antara para calon anggota legislatif. Masih digunakannya metode politik uang membuktikan bahwa ketidaksiapan mensukseskan pemilu bukan hanya muncul dari penyelenggara pemilu namun juga dari sisi partai politik bermodal besar.
KIPP se-Malang Raya mewaspadai potensi konflik yang terjadi pada hari H maupun pasca pemungutan suara. Potensi konflik tersebut dapat muncul sebagai akibat akumulasi kekecewaan terhadap ketidaksiapan penyelenggaraan pemilu maupun akibat kecurangan-kecurangan di lapangan. Selain itu mental siap menang tidak siap kalah turut menjadi sumber konflik di antara peserta pemilu.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, KIPP se-Malang Raya mengambil sikap politik sebagai berikut:
1. Menuntut perbaikan kinerja penyelenggara pemilu di Malang Raya pada hari H pemungutan suara. Perbaikan kinerja harus dilakukan untuk menekan potensi kekacauan pada hari H pemungutan suara.
2. Mengingatkan kepada masyarakat untuk mewaspadai penggelembungan suara dalam bentuk apa pun di wilayah masing-masing. Titik rawan yang menjadi pintu masuk bagi penggelembungan suara tersebut adalah DPT.
3. Menyatakan perang terhadap segala bentuk politik uang yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak siap berdemokrasi.
4. Mengingatkan kepada setiap pihak untuk mewaspadai potensi konflik yang muncul akibat akumulasi kekecewaan terhadap ketidaksiapan pemilu dan juga kecurangan-kecurangan.
Sebagai tindak lanjut terhadap masalah-masalah tersebut, KIPP se-Malang Raya membentuk Crisis Center sebagai saluran bagi setiap orang yang peduli kepada demokrasi untuk melaporkan segala bentuk temuan pelanggaran atau kecurangan pada hari H nanti. Crisis Center tersebut dibuka sejak hari H hingga penetapan hasil akhir pemilu.
Malang, 8 April 2009
Sigit Nurhadi Siswo Suwarjono Felik Sad Windu
Ketua KIPP Kota Malang Ketua KIPP Kab.Malang Ketua KIPP Kota Batu
Senin, 23 Maret 2009
Pemantau Lokal Masih Dua
Ketua KPUD Kota Malang Hendry ST di kantornya kemarin mengungkapkan, dua pemantau lokal yang telah mendaftar ke KPUD adalah KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) Kota Malang dan Aksara Tumapel. Kedua pemantau itu telah menyerahkan formulir pengajuan pemantauan. Hingga kemarin, jumlah pemantau lokal yang mendaftar belum bertambah. "Masih dua. Maksimal pendaftaran tidak kami tentukan. Ya kalau bisa secepatnya saja," kata lajang asal Palembang ini.
Menurutnya, KPUD akan menggelar rapat pleno untuk verifikasi kedua pemantau itu. Mana yang layak berdasarkan berbagai syarat yang ditentukan. Misalnya harus ada program pengawasan, independensinya, penjelasan sumber dana, jumlah personel, dan lokasi-lokasi yang akan menjadi sasaran pemantauan. "Kalau ada lagi, kami harap sebelum kami lakukan pleno. Paling pleno sekitar seminggu sebelum pemungutan suara," ungkap Hendry.
Khusus pemantau tingkat provinsi dan tingkat nasional, pihaknya menunggu tembusan daftar pemantau dari KPU Jatim dan KPU pusat. Dari situ, nantinya KPUD akan memberikan pengantar untuk pemantauan di TPS-TPS. Sehingga kerja pemantau bisa lebih leluasa dan tidak ditolak oleh KPPS (kelompok panitia pemungutan suara). "Kami juga belum tahu berapa pemantau asing yang nanti masuk ke Malang. Belum ada pemberitahuan," katanya. (yos/war)
http://202.158.49.30/radar/index.php?act=detail&rid=73782
Kamis, 05 Maret 2009
Perpu DPT Tak Selamatkan Hak Konstitusional Warga Negara
"Perpu No 1/2009 tidak saja kontroversial karena belum mendapat persetujuan DPR, namun juga tidak memiliki signifikansi terhadap penyelamatan hak konstitusional warga negara," ujar Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Jakarta Raya, Said Salahudin, dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (3/3/2009).
Perpu tersebut memang hanya mengatur penambahan daftar pemilih yang telah terdaftar namun belum masuk dalam DPT. Sedangkan pemilih yang belum terdaftar tidak terakomodir.
"Padahal permasalahan mendasar dari kusutnya penyusunan daftar pemilih bukan karena persoalan rekapitulasi DPT, tetapi justru lebih disebabkan karena masih banyaknya warga masyarakat yang belum terdaftar dan/atau merasa khawatir tidak terdaftar," tandas Said.
Perpu itu, lanjut Said, terkesan hanya dijadikan sebagai payung hukum untuk menyelamatkan KPU yang lalai dalam menjalankan tugasnya memutakhirkan data pemilih dan abai terhadap hak konstitusional masyarakat. Padahal, kelalaian dan pengabaian semacam itu menurut UU haruslah berujung pada pengenaan sanksi.
"Di sini keadilan dan keberpihakan negara terhadap hak-hak warganya sama sekali tak terlihat," tegasnya. (Shohib Masykur - detikPemilu)
Diduga Lakukan Subkontrak, Panwaslu Panggil Aneka Ilmu
SEMARANG, KAMIS — Panitia Pengawas Pemilu Jawa Tengah memanggil perusahaan konsorsium pencetak surat suara PT Aneka Ilmu untuk meminta klarifikasi terkait dugaan subkontrak yang dilakukan perusahaan tersebut pada PT MNP di Kota Semarang. Proses klarifikasi berlangsung di Kantor Panwaslu Jateng di Kota Semarang, Kamis (5/3) sore.
Anggota Panwaslu Jateng Rahmulyo Adiwibowo mengungkapkan, ada 70.000 surat suara yang dicetak oleh PT MNP sejak tanggal 24 Februari lalu. General Manajer PT Aneka Ilmu Nugroho mengatakan, pencetakan surat suara tersebut hanya sebagai percobaan. Perusahaannya berencana menyewa mesin cetak dari PT MNP. Karena itu, pihaknya merasa perlu mengecek kondisi mesin dan melihat hasil cetakannya apakah sesuai atau tidak.
"Saya sudah mengajukan surat izin ke KPU Pusat. Namun hingga kini belum ada tanggapan. Karena waktunya terbatas, maka kami memulai dengan percobaan lebih dulu," kata Nugroho.
Rahmulyo mengatakan, percetakan surat suara di luar anggota konsorsium bersifat rawan. Menurutnya, tidak ada yang dapat menjamin keamanan surat suara, serta jumlah surat suara yang tercetak yang dapat melebihi kuota.
"Hasil klarifikasi ini akan kami sampaikan ke Bawaslu. Nantinya Bawaslu yang akan merekomendasikan ke KPU pusat mengenai tindak lanjutnya," kata Rahmulyo.
KOMPAS Amanda Putri Nugrahanti
http://indonesiamemilih.kompas.com/index.php/read/xml/2009/03/05/16424860/Diduga.Lakukan.Subkontrak..Panwaslu.Panggil.Aneka.Ilmu
Senin, 02 Maret 2009
82 Ribu TPS Masuk Kategori Rawan Di NAD, Tidak Ada TPS Masuk Kategori Aman
Pada rapat kerja Komisi I DPR dengan Kementrian jajaran Polhukam, Senin (2/3), Kapolri Bambang Hendarso Danuri mengungkapkan, jumlah TPS mengacu pada Peraturan KPU adalah 528.217 TPS. Dari jumlah itu, polri membagi dalam tiga kategori yakni kategori aman, kategori rawan I dan kategori rawan II.
Kapolri menjelaskan, TPS yang masuk kategori rawan I adalah TPS yang rawan secara geografis. “Sedangkan kategori TPS rawan II adalah TPS yang rawan gangguan keamanan,” ujarnya.
Mantan Kabareskrim mabes Polri ini merincikan, jumlah TPS rawan I sebanyak 61.705. Sedangkan TPS yang masuk kategori rawan II sebanyak 20.501. Sisanya, masuk kategori aman.
Pada kesempatan itu mantan Kapolda Sumut ini juga mengungkapkan bahwa khusus Nangroe Aceh Darussalam, tidak ada TPS yang masuk kategori aman. “Semua masuk dalam kategori kurang aman,” tandasnya.
Menurut Kapolri, saat ini Mabes Polri juga tengah menunggu keputusan KPU tentang revisi jumlah TPS. Pasalnya, jumlah TPS itu penting bagi polri dalam mempersiapkan personil untuk pengamanan pemilu.
Setiap TPS yang masuk kategori aman, katanya, akan dijaga oleh satu personil kepolisian dan dua petugas Linmas (Perlindungan Masyarakat). Sedangkan TPS yang masuk kategori Rawan I dijaga satu polisi dan dua pelindung masyarakat. “Sedangkan TPS Rawan II, diamankan dua polisi dan empat pelindung masyarakat,” paparnyua.
Pada kesempatan sama, Menkopolhukam Widodo AS memaparkan, pemerintah telah menyerahkan rencana pengamanan pemilu ke Polri. “Mabes Polri telah menyusun, melaksanakn dan mengendalikan pegamanan pemilu dalam bentuk operasi pengamanan pemilu Mantap Brata 2009,” ujarnya.
Pensiunan Laksamana ini menuturkan, kementrian jajaran polhukam telah menyiapkan berbagai antisipasi ganguan pemilu, termasuk kemungkinan adanga gangguan terror terhadap pelaksanaan pemilu.
Untuk itu, pemerintah mengerahkan personil pengamanan pemilu yang terdiri terdiri dari 1.024.376 personil Linmas, 24.260 personil TNI, serta 371.614 aparat kepolisian. Adapun pola pengamanan Pemilunya, papar Widodo, akan dilakukan secara terbuka dan tertutup, baik terhadap obyek atau lokasi untuk kegiatan Pemilu, distribusi logistic, maupun pengamanan melekat terhadap capres dan cawapres.
Pemantau Asing di Aceh
Disinggung tentang keberadaan pemantau pemilu asing di Aceh, Widodo dalam raker yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu menjelaskan, pemerintah tidak memberikan perlakukan khusus terhadap keberadaan pemantau dari luar negeri. Keberadaan pemantau di daerah, katanya, juga bagian dari kebijakan pemerintah secara nasional.
“Pada tingkat policy, keberadan pemantau asing akan menjadi kebijakan nasional dan tidak ada kebijakan yang sifatnya lokal. Kalau dibolehkan di daerah, itu berarti keberadaannya karena ada kebijakan secara nasional. Jadi tidak ada kebijakan untuk mengkhususkan,” imbuhnya.
Sementara Dirjen Imigrasi Basyir Ahmad Barmawi mengatakan, menjelang pemilu ini tidak ada lonjakan permintaan visa masuk dari negara asing untuk memantau Pemilu di Aceh. “Belum ada peningkatan orang asing yang masuk ke Aceh. Semua pasti terpantau karena visa on arrival belum berlaku di Aceh,” mantan KAdiv Humas Mabes Polri ini.
Ditambahkannya, piha-pihak luar yang hendak masuk ke Aceh kebanyakan justru para pekerja social. “Seperti beberapa waktu lalu masuk dari Cina bareng dengan BNN (Badan Narkotika Nasional),” imbuhnya.
Lebih lanjut Basyir merincikan, untuk Februari 2009 ini jumlah WNA yang masuk ke Aceh juga tidak mengalami lonjakan. “Februari 2009 lalu ada 927 permintaan (untuk masuk ke Aceh). Ada yang kunjungan singkat, ataupun karena kerja. Tetapi sebagian besar pekerja social,” paparnya.
Lantas bagaimaan jika ada WNA yang sebenarnya dilarang masuk ke Indonesia, terutama ke Aceh mengajukan permohonan ke Imigrasi. “Kalau itu pasti kita tangkal karena kita ada jaringan dengan Polri, BIN maupun Kejaksaan Agung,” tandasnya.(ara/jpnn)
http://jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=15378
Penerapan Perppu Pemilu tanpa Persetujuan DPR
Rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin menyepakati DPR baru menyikapi perppu tersebut pada masa sidang berikutnya. Padahal, masa sidang itu baru dilakukan 13 April 2009, setelah pemilu legislatif. Sementara perppu digunakan dalam pemilu legislatif 9 April 2009.
"Secara substansi kami tidak ada masalah, tinggal masalah prosedural," ujar Ketua Komisi II E.E. Mangindaan, saat membuka kembali raker usai diskors, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin (2/3).
Dia menambahkan, pimpinan fraksi dan komisi yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri itu, bersama pemerintah dan KPU telah sepakat memberikan persetujuan perppu tersebut pada masa sidang DPR berikutnya. Komitmen itu dituangkan dalam bentuk tanda tangan perwakilan fraksi di Komisi II. "Kami sudah berkomitmen mendukungnya. Ini hanya soal waktu," tambah politikus asal Partai Demokrat tersebut.
Sejak pertama raker yang diikuti Mendagri Mardiyanto serta anggota KPU Samsul Bahri dan Sri Nuryanti itu dibuka, hujan interupsi dari sejumlah anggota Komisi II terus mengalir. Ada yang mendukung agar perppu tersebut segera disikapi DPR di sidang paripurna hari ini. Tapi, banyak pula yang sebaliknya.
"Agak mengkhawatirkan kalau perppu ini berjalan tanpa penguatan dari DPR," ujar anggota Komisi II dari FPKS Agus Purnomo. Sebab, menurut dia, pembukaan masa sidang DPR selanjutnya pada 13 April telah melewati masa pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April.
"Perppu ini juga butuh jaminan politik," tambahnya. Jangan sampai, lanjut dia, hasil pemilu dipersoalkan oleh pihak yang tidak puas melalui materi substansi dari perppu tentang perubahan cara menandai dan penambahan DPT tersebut.
Anggota Komisi II dari FPG Ferry Mursyidan Baldan menambahkan, penyikapan dari DPR sebaiknya tidak perlu ditunda-tunda lagi. Apalagi, Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga telah menugasi Komisi II untuk mengagendakannya di sidang paripurna. "Lebih cepat kan lebih baik. Kalau bisa (masa sidang) sekarang, kenapa harus ditunda?" ujarnya.
Namun, sikap para pendukung penundaan juga tidak kalah sengit. Mereka menggunakan dasar konstitusi. "Prosedur rapat ini bagaimana? Pembahasan soal perppu ini sudah jelas diatur dalam UUD 1945," tegas anggota Komisi II dari FPPP Chozin Chumaidy.
Dia mengungkap, pasal 22 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap perppu mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Ayat selanjutnya, ayat (3), menyatakan, jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut. Hasil persetujuan itu adalah UU baru tentang perubahan UU sebelumnya.
Anggota Komisi II lainnya, Andi Yuliani Paris, menambahkan, persetujuan perppu untuk menjadi UU pada masa sidang berikutnya tidak akan menghalangi KPU untuk tetap bisa menggunakan perppu tersebut. "Tapi, jangan karena kepentingan, konstitusi lantas dilanggar," tandasnya.
Sementara itu, menanggapi hasil raker tersebut, anggota KPU Syamsul Bahri tak berkomentar banyak. "Kami tidak masalah, disetujui (masa sidang) sekarang atau nanti, kami tetap siap melaksanakan perppu tersebut," ujarnya.
Apakah tidak khawatir dengan ketiadaan penyikapan DPR ini? "Tidak ada. Ini sudah kesepakatan rapat," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Fajrul Falaakh menilai, penerapan perppu tanpa persetujuan DPR itu memang cukup beresiko. Pemerintah, dalam hal ini presiden, akan menjadi kambing hitam jika sewaktu-waktu muncul persoalan di pemilu yang berhubungan dengan isi perppu. "Ini kan kelihatan sekali kalau DPR ingin lepas tangan," ujarnya, saat dihubungi.
Apakah hasil pemilunya sendiri juga bisa dipersoalkan? "Peluang itu ada, dan antisipasi yang dilakukan DPR, bahwa mereka tidak ikut bertanggung jawab akan hal itu," tambahnya.
Terkait dengan kemungkinan penolakan yang dilakukan DPR terhadap perppu itu nantinya, Fajrul juga menyatakan tetap sangat mungkin terjadi. Apalagi, jika ternyata memang muncul masalah akibat perppu tersebut. "Itu akan jadi senjata efektif untuk menyerang presiden, mengingat masa kerja DPR yang baru selesai hingga September nanti," pungkasnya. (dyn/tof)
http://www.jawapos.com/
Minggu, 01 Maret 2009
Survei: Pemilih Lebih Banyak Tandai Partai Dibanding Calon
JAKARTA, JUMAT — Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan, secara umum pemilih lebih banyak yang menandai partai dibandingkan menandai calon.
Direktur Riset LSI Dodi Ambardi menjelaskan, temuan ini mengindikasikan bahwa para calon dan KPU belum mampu membantu dan meyakinkan pemilih agar menandai calon sebagai indikator peningkatan kualitas pemilu. Survei yang dilakukan pada 8-18 Februari 2009 ini ingin mengetahui bagaimana efek calon terhadap perolehan suara partai, pascaputusan MK yang menetapkan calon terpilih ditentukan suara terbanyak.
Hasil survei menunjukkan, 44 persen dari 2.455 responden menandai partai, 36 persen menandai calon, 12 persen menandai partai dan calon, dan lainnya 9 persen. Hasil ini didapatkan dengan melakukan simulasi pilihan menggunakan surat suara. Pertanyaan yang diajukan: apa yang dipilih?
"Hasil ini menunjukkan, bagi pemilih partai masih lebih penting ketimbang calon," ujar Dodi dalam jumpa pers di Kantor LSI, Jl Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/2).
Berkaitan dengan calon, survei menemukan bahwa tingkat pendidikan menjadi indikator pemilih menandai calon. "Semakin baik tingkat pendidikan, semakin cenderung memilih calon dibanding memilih partai," ungkap Dodi.
Sementara itu, ketika diajukan pertanyaan 'Partai mana yang dipilih bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang?', hasilnya 24,3 persen responden memilih Demokrat, disusul PDI-P dengan 17,3 persen, dan Golkar 15,9 persen.
"Hasil pentingnya, efek partai jauh lebih penting dibandingkan efek calon terhadap partai. Ini tidak membuktikan anggapan bahwa calon bisa mendongkrak suara partai," tambah Dodi.
Survei ini dilakukan terhadap 2.455 responden yang merupakan WNI yang mempunyai hak pilih. Dengan sampel itu, margin of error 2,4 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Dodi menjelaskan, reponden terpilih diwawancara tatap muka dan disimulasi dengan menggunakan surat suara.
Inggried Dwi Wedhaswary
http://indonesiamemilih.kompas.com/index.php/read/xml/2009/02/27/10392449/Survei.Pemilih.Lebih.Banyak.Tandai.Partai.Dibanding.Calon
Selasa, 24 Februari 2009
Putusan MK Perkuat UU Pers
JAKARTA, SELASA - Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang mengatur sanksi terhadap lembaga pers dan penyiaran yang melanggar pembatasan iklan kampanye. MK menyatakan pasal tersebut bertentangan langsung dengan UUD 1945.
Putusan itu dibacakan pada sidang terbuka di Gedung MK, Selasa (24/2). MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemimpin redaksi dari Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota, serta tabloid Cek dan Ricek.
Menurut MK, penjatuhan sanksi yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2, 3, 4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Konstitusi telah memberikan jaminan yang sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi. Jaminan itu diwujudkan, antara lain, dengan mencabut keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.
Meskipun ketentuan sanksi tersebut dibatalkan, MK menyatakan tidak terjadi kekosongan hukum bagi perlindungan publik apabila lembaga penyiaran dan media cetak melakukan pelanggaran iklan kampanye.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yaitu media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal, terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU No 40/1999. Lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum udara yang terbatas memerlukan perizinan dari Menteri Komunikasi dan Informatika serta Komisi Penyiaran Indonesia. Media massa cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi mana pun.
Menanggapi putusan tersebut, Pemimpin Redaksi Harian Terbit Tarman Azzam menyatakan putusan tersebut sangat maju dan memahami soal kebebasan pers. Pada dasarnya, segala ketentuan mengenai pembredelan harus dilawan.
Ketua Dewan Pers Leo Batubara dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja, secara terpisah di Jakarta, menilai, keputusan itu menghargai keberadaan UU Pers dan UU Penyiaran.
Menurut Leo, aturan dalam UU No 10/2008 memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk mencabut izin media cetak yang dianggap melanggar prinsip keadilan dalam berita maupun iklan politik. Padahal, UU Pers telah menegaskan bahwa untuk penerbitan media cetak, tidak diperlukan izin sehingga tidak dapat dicabut izinnya.
”Peserta pemilu yang tidak puas dengan pemberitaan di media cetak tertentu bebas membuat koran sendiri,” katanya.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir menyambut baik putusan MK itu. Menurut dia, iklan menggerakkan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan pemilik media, tetapi juga industri pendukung lain. Apalagi jika penggunaan spanduk dan baliho juga dibebaskan.
”Bayangkan, ada ribuan orang yang memesan spanduk, poster, dan sebagainya, maka ekonomi akan berputar,” ujarnya.
Senada dengan Soetrisno, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi juga menyambut baik liberalisasi kampanye semacam ini. Namun, kebebasan jangan hanya ditujukan pada iklan yang ada di media massa, tetapi juga di luar ruang.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, keputusan itu bisa berdampak positif dan negatif. Positif karena partai akan semakin berlomba membuat iklan. ”Namun, saya khawatir akan makin banyak iklan yang negatif, saling serang, black campaign,” ujarnya.(ANA/MZW/INA/MAM)
http://indonesiamemilih.kompas.com/index.php/read/xml/2009/02/25/04173036/Putusan.MK.Perkuat.UU.PersKamis, 19 Februari 2009
KPU Bisa Dinilai Menghalangi
Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum tidak berlarut-larut mewacanakan perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sebagai implementasi putusan MK soal suara terbanyak.
Apabila hal itu dilakukan terus-menerus, bahkan mengancam untuk kembali menggunakan Pasal 214, KPU dapat dinilai menghalang-halangi penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009.
Terkait dengan hal itu, Mahfud menyatakan ada konsekuensi politis dan hukum yang harus ditanggung KPU. ”Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara, seperti diatur dalam Pasal 309 Ayat (3) dengan hukuman 12 bulan hingga 24 bulan,” ujar Mahfud dalam jumpa pers, Rabu (18/2).
Mahfud menggelar jumpa pers khusus untuk menanggapi pernyataan anggota KPU, Andi Nurpati, yang dilansir media massa, Rabu (18/2). Andi mengatakan, apabila perpu terkait penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak tidak diterbitkan pekan ini, KPU bersiap mengeluarkan peraturan KPU untuk menggunakan kembali Pasal 214 UU No 10/2008 yang sudah dibatalkan MK (Kompas, 18/2).
Mahfud menegaskan, tidak semua putusan MK membutuhkan perpu atau revisi UU. Alasan KPU yang menyatakan bahwa putusan pengadilan (MK) bersifat konkret sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum adalah keliru. ”Saya ingatkan KPU agar tidak berwacana dengan soal-soal teori hukum,” katanya.
Mahfud juga mengingatkan KPU soal pengaturan terkait zipper system. Menurut Mahfud, UU No 10/2008 dan putusan MK tidak mengenal sistem tersebut. Tidak ada kewajiban bahwa di antara tiga calon anggota legislatif terpilih harus ada satu perempuan. Hal tersebut hanya berlaku pada penetapan caleg.
Mendagri Mardiyanto mengatakan, kalaupun jadi, perpu dikeluarkan karena ada kebutuhan, tidak merugikan pihak mana pun, dan juga tidak akan mengganggu proses yang sudah berjalan. Pihak pemerintah masih merumuskan materi perpu tersebut. ”Tapi, tidak akan lama,” katanya di Gedung DPR, Rabu.
Mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso, mengatakan, wacana perlu atau tidaknya perpu harus disudahi. Selain tidak produktif, wacana itu justru dapat mengganggu persiapan pelaksanaan pemilu.
KPU sebaiknya fokus kepada UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan bahwa pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda satu kali. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih KPU dengan sosialisasi secara besar-besaran mengenai cara penandaan karena banyak warga yang belum tahu.
Hal senada juga dilontarkan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti. Menurutnya, wacana KPU untuk kembali ke nomor urut dinilai sangat tidak dapat diterima. KPU sudah cukup mengatur penetapan suara terbanyak tanpa perlu perpu.
Sumber : www.kompas.com
PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG: SOSIALISASI MINIM, PEMILU TERANCAM GAGAL! (54% TIDAK TAHU KAPAN PEMILU 2009 DIADAKAN)
Keringnya pemahaman pelajar pemilih pemula terhadap pemilu dapat dilihad pada hasil survey KIPP Kota Malang terhadap 300 responden pelajar pemilih pemula. Dari survey yang telah dilakukan KIPP Kota Malang pada beberapa siswa kelas 3 SMA, ternyata 54% di antara mereka belum mengetahui kapan pemilu akan diadakan. Yang lebih menarik dari hasil survey ini adalah tentang tata cara pemilihan nantinya, dimana yang biasanya pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos pada pemilu kali ini diganti dengan mencontreng. Lebih dari separuh pelajar pemilih pemula tidak mengetahui hal ini. Masih dari survey ternyata hanya 43% yang mengetahui pemberian tanda adalah dengan mencontreng, sedangkan 47% masih mengira pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos, 9% lainnya mengaku tidak tahu. Dari hasil survei tersebut, kita dapat melihat betapa masih minimnya penetrasi budaya mencontreng di kalangan masyarakat.
Pemberian tanda dengan menconteng ini tampaknya juga lebih rumit dari sebelumnya. Pada surat suara nantinya akan terpampang gambar partai, nama partai, serta sederet nama calon legislatif yang diajukan. Nama-nama ini tentunya berukuran kecil, sehingga cara mencontreng juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Terdapat 25% responden yang tidak mengetahui di kolom manakah pemberian tanda pada surat suara yang dianggap sah. Sementara ada 6% responden yang justru berpotensi membuat suaranya tidak sah karena menganggap pemberian tanda harus dilakukan pada ketiga kolom dalam surat suara (gambar partai, dan nomor caleg, dan nama caleg). Padahal sesuai Pasal 153 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemberian tanda pada surat suara hanya 1 kali.
Hasil survey KIPP Kota Malang tersebut menunjukkan bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan pemilu kepada masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula. Minimnya sosialisasi tersebut akan menjadi ancaman bagi tingkat partisipasi pemilih. Kurangnya sosialisasi tentang metode pemberian tanda pada surat suara juga dapat menyebabkan kekacauan pada hari pemungutan suara karena banyaknya suara yang tidak sah akibat minimnya sosialisasi budaya mencontreng.
Fakta minimnya pemahaman responden pelajar pemilih pemula tersebut sungguh ironis karena sebenarnya mereka adalah golongan yang termasuk dekat dengan sarana informasi, baik berupa koran, televisi, bahkan beberapa diantaranya mengaku sering mengakses internet. Hanya 3% responden yang mengaku tidak pernah menonton berita di televisi, dan 44% mengaku sering mengakses internet. Fakta ini menunjukkan bahwa terbukanya akses informasi tidak akan berpengaruh pada pemilih jika ternyata sosialisasi oleh penyelenggara Pemilu justru minim
Hasil survey ini memunculkan kekhawatiran atas dapat tidaknya pemilu kali ini terselenggara dengan sukses. Bagaimana mungkin pemilu dapat memunculkan wakil rakyat yang legitimate jika nantinya jumlah golput lebih banyak daripada jumlah yang menggunakan hak pilih. Bagaimana pula pemilu dapat dikatakan sukses jika nantinya banyak suara yang tidak sah karena kurangnya sosialisasi tentang hal-hal teknis pemilu kepada masyarakat. Kegagalan pemilu bukanlah sekedar kerugian materiil dengan mahalnya biaya yang telah dikeluarkan, namun juga kerugian moril bangsa ini karena telah gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang representatif.
Keringnya pemahaman masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula, terhadap pemilu menjadi tanggung jawab setiap stakeholder pemilu. Hal ini bukan sekedar tanggung jawab penyelenggara pemilu yang minim sosialisasi, namun juga tanggung jawab partai politik dan caleg-calegnya. Bukankah salah fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat? Lalu di mana peran partai politik saat ini? Jangan sampai partai politik hanya berburu suara namun melupakan fungsi idealnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, KIPP Kota Malang menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu terutama pada kalangan pelajar pemilih pemula. Oleh karena itu KPU Kota Malang harus sesegera mungkin mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu dengan menggandeng elemen-elemen masyarakat di Kota Malang.
2. KPU Kota Malang harus lebih intens mensosialisasikan hal teknis pemberian tanda pada surat suara. Minimnya sosialisasi dalam hal teknis tersebut dapat menjadi ancaman tingginya suara yang tidak sah akibat salah dalam memberikan tanda.
3. Partai politik dan caleg-caleg juga harus ambil bagian dalam proses pendidikan politik kepada rakyat. Keringnya pengetahuan politik masyarakat adalah wujud kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi pendidikan politik.
4. Media massa di Kota Malang perlu turut serta mensosialisasikan hal-hal teknis pemilu pada masyarakat. Hal ini menjadi bentuk konkrit peranan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Selasa, 10 Februari 2009
PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG: KIPP KOTA MALANG MENDUKUNG PROSES PEMILU 2009 TANPA DISKRIMINASI
Pemilihan Umum 2009 merupakan momen yang sangat penting dalam proses demokratisasi di Indonesia. Karena melalui Pemilihan Umum ini, rakyat Indonesia menyalurkan aspirasinya kepada wakil rakyat yang dipercaya. Melalui mekanisme ini rakyat menyerahkan kedaulatannya dalam demokrasi keterwakilan kepada wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mapun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Bahwa tiap-tiap warga negara memiliki hak dan peluang yang sama untuk dipilih dan memilih berdasarkan konstitusi, demikian pula memiliki kesempatan yang sama pula untuk dapat anggota lembaga legislatif pada Pemilu 2009. Untuk itu, seyogyanya tidak perlu ada pembatasan terhadap pilihan rakyat serta pembedaan-pembedaan (diskriminasi) ataupun pengistimewaan/pengkhususan dalam bentuk penguatan (afirmasi) ataupun bentuk lainnya bagi kelompok tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 mengukuhkan pendapat ini. Bahwa yang berlaku dalam penentuan anggota legislatif pada Pemilu 2009 didasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Hal ini menunjukkan tidak ada diskriminasi dalam proses penentuan anggota legislatif pada Pemilu 2009 nanti.
Berkaitan dengan penetapan Calon Legislatif (Caleg) Perempuan, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah memberikan affirmative action bagi perempuan. Hal ini tampak pada pasal 55 Undang-Undang ini (lihat pasal 55). Selayaknya kita menghormati Undang-Undang ini sebagai aturan pokok dalam Pemilu 2009. Namun dalam penetapan anggota lembaga legislatif, tetap berpegang pada prinsip demokrasi di mana keputusan diambil berdasarkan kedaulatan rakyat, maka yang berhak terpilih adalah yang meraih suara terbanyak tanpa mengabaikan kesempatan bagi perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama.
Usulan adanya affirmative action bagi perempuan dengan memberlakukan Zipper System dalam dalam penetapan hasil Pemilihan Umum 2009 kurang tepat. Karena hal ini justru akan menjatuhkan derajat perempuan yang menginginkan kesetaraan derajat dan peran antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender). Adanya zipper system merupakan penghinaan bagi kaum perempuan itu sendiri, karena zipper system dalam bentuk apapun menunjukkan ketidaksiapan kaum perempuan dalam bidang politik.
Dengan menghapus pemberlakuan penetapan calon legislative terpilih berdasarkan nomor urut, maka otomatis MK juga memacu semangat kompetisi bagi perempuan dengan menghargai kemampuan perempuan dalam persaingan politik. Penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga menunjukkan adanya level-playing field yang sama antara caleg laki-laki dan perempuan dimana hal ini selaras dengan prinsip kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kebijakan affirmative action. Adanya anggapan bahwa caleg perempuan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk bersaing dengan caleg laki-laki adalah sebuah kekhawatiran yang berlebihan yang justru meremehkan potensi perempuan sendiri.
Dengan metode suara terbanyak maka yang seharusnya dilakukan oleh caleg perempuan adalah memperkuat basis dukungan mereka. Penguatan basis dukungan ini tidak hanya diperlukan saat meraup suara saja, melainkan juga selama masa jabatan mewakili rakyat di institusi pemerintahan. Memberikan perlakuan khusus kepada perempuan dalam penetapan calon terpilih lebih terkesan meragukan kemampuan perempuan dalam berkompetisi meraih suara dukungan, bagaimanapun kualitas mental calon wakil rakyat otomatis teruji pada tahap awal kompetisi meraih suara dukungan rakyat.
Keputusan MK yang langsung bisa ditindaklanjuti oleh KPU maupun KPUD ini meski mendapat reaksi keras dari kalangan perempuan, tetap harus segera diberlakukan sebagai kepastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2008.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka dengan ini Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kota Malang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Mendukung sepenuhnya proses Pemilihan Umum 2009 secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luberjurdil) tanpa adanya pembedaan (diskriminasi) dalam bentuk apapun.
Mengharapkan lembaga penyelenggara Pemilihan Umum 2009 (KPU, KPUD Provinsi, KPUD Kota/Kabupaten) untuk tidak menggunakan Zipper System dalam penetapan anggota lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 pada tingkat Nasional, Provinsi, maupun Kota/Kabupaten.
Kamis, 05 Februari 2009
Operasi Atribut Parpol Berlanjut
Kabid operasional dan pengawasan Satpol PP Pemkot Malang Handi Priyanto menjelaskan, sesuai rencana awal, penertiban atribut akan dilakukan meluas di seluruh Kota Malang. Utamanya, atribut parpol yang menyalahi Perwakot No. 3/2009 tentang penetapan lokasi pengawasan dan tata cara pemasangan alat peraga kampanye pemilu. "Semua akan dibersihkan tanpa kecuali," ujarnya.
Selanjutnya, hasil penertiban itu dikandangkan di kantor Satpol PP dengan masa toleransi tiga hari. Jika dalam tiga hari atribut tidak diambil parpol bersangkutan, maka dianggap sebagai barang sitaan. "Sampai sekarang terhimpun ratusan, bahkan mungkin sudah seribu lebih atribut parpol yang ditertibkan," kata Handi.
Terpisah, anggota panwaslu divisi pengawasan dan hubungan antar lembaga Ashari Husen menambahkan, operasi atribut parpol tersebut akan dilakukan hingga tuntas. Artinya, sampai semua atribut parpol yang melanggar Perwakot 3/2009 habis. Bahkan, Jumat (6/2) nanti penertiban atribut akan lebih intensif dilakukan. "Besok (hari ini) Panwascam dilantik di Balai Kota. Begitu dilantik, Panwaslu akan langsung konsolidasi," kata Ashari.
Selain konsolidasi dengan Panwascam, menurut Ashari pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Satpol PP di tingkat kecamatan. Dengan begitu, atribut parpol yang selama ini belum terjangkau karena lokasinya di dalam pemukiman penduduk bisa diatasi. "Jumat, tim gabungan langsung bergerak. Seterusnya sampai penertiban selesai," tandasnya.
Lebih lanjut, soal pengamanan hasil operasi sepenuhnya diserahkan Panwaslu pada Satpol PP. Tapi, jika penertiban itu dilakukan saat masa hari tenang jelang pencoblosan caleg maupun Pilpres, maka sitaan dihandel langsung oleh Panwaslu. (nen/lia)
Pelibatan Anak Dalam Kampanye Pemilu Merupakan Tindak Pidana Pemilu
Dalam acara tersebut hadir Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary AZ, Anggota KPU Andi Nurpati, Abdul Aziz, Samsul Bahri, Sri Nuryanti, Sekjen KPU Suripto Bambang Setyadi serta pejabat Setjen KPU, sedangkan dari Komnas Anak dipimpin oleh Ketuanya Seto Mulyadi didampingi Sekjen Komnas Anak Arist Merdeka Sirait serta para pengurus.
Komnas Anak, meminta kepada KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10/ 2008 tentang Pemilu untuk mengingatkan dan mensosialisasi ketentuan Pasal 84 ayat 2 huruf (k) kepada seluruh Parpol peserta Pemilu untuk tidak melibatkan Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak pilih khususnya tidak melibatkan anak-anak dalam pemeran iklan kampanye Pemilu. Perlu melakukan penegakan hukum terhadap Partai Politik peserta pemilu yang melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye, baik dalam kampanye fisik seperti rapat umum, pemasangan atribut kampanye partai maupun iklan kampanye di media elektronik peserta Pemilu.
Ketiga, perlu diambil inisiatif menyusun peraturan KPU mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye dan pemberian sanksi sesuai dengan ketentuan pasal 100 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Dalam dialog antara Komnas Anak dan anggota KPU, terlontar keinginan menyusun semacam aturan yang mensinergikan aturan UU No 23/2002 Tentang Perlindungan anak dan UU 10/2008 tentang Pemilu, sehingga secara kongkrit pelarangan anak dalam kampanye oleh Parpol peserta Pemilu dalam kampanye, bisa dicegah. Untuk itu KPU perlu berkoordinasi dengan Bawaslu, Polri, KPI dan Komnas Perlindungan Anak. Tidak ada ”grey area” lagi dalam aturan Undang-undang dan peraturan KPU.
Anggota KPU mengharapkan perlu ada upaya lain, antisipasi agar anak-anak tidak dikutsertakan dalam kampanye. Karena Parpol peserta Pemilu sering mengabaikan rambu-rambu yang ada dalam peraturan perundangundangan tentang pelarangan anak ikut dalam kampanye.
Ketua Komnas Anak Seto Mulyadi menyambut baik gagasan ini dan berharap agar ”menjunjung tinggi hak anak yang terlibat dalam kampanye, karena anak-anak yang dipaksa ikut dalam kampanye sering frustrasi”.Pertemuan itu diakhir dengan konferensi pers dengan wartawan.(FS/Redaktur)
Jumat, 23 Januari 2009
KPU Umumkan Pemenang Lelang Pengadaan Surat Suara
Jakarta (ANTARA News) - Panitia Pengadaan Surat Suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pemenang lelang surat suara untuk sembilan paket, di Jakarta, Jumat.
Pemenang lelang surat suara untuk paket I yakni konsorsium PT. Pura Barutama, paket II konsorsium PT. Sumex Intermedia, paket III konsorsium CV. Ganeca Exact Bandung, dan paket IV konsorsium PT Sinar Agape Press.
Sementara itu, pemenang lelang surat suara untuk paket V yakni konsorsium CV. Ganeca Exact Bandung, paket VI konsorsium PT. Masscom Graphy, dan paket VII konsorsium PT. Pura Barutama. Untuk lelang paket VIII dan IX dimenangkan oleh konsorsium PT. Temprina Media Grafika.
Sebelumnya, anggota KPU Abdul Aziz, mengatakan dalam menentukan pemenang lelang surat suara, panitia pengadaan perlu memperhitungkan betul kemampuan konsorsium mengingat terdapat konsorsium yang mengikuti lebih dari satu paket lelang sekaligus baik untuk pengadaan surat suara maupun formulir..
"Kalau mampu tidak masalah," katanya sebelumnya.
Seperti diketahui panitia telah memecah pengadaan surat suara menjadi 10 paket dan terdapat konsorsium yang mengikuti lelang pengadaan surat suara untuk beberapa paket.
Diantara konsorsium yang mengikuti beberapa paket lelang surat suara juga mengikuti lelang pengadaan formulir.
"Kita pertimbangkan apabila calon pemenang lelang surat suara juga ikut untuk penawaran formulir. Apakah bisa dia mengadakan dua kegiatan pengadaan surat suara dan formulir atau harus ada batasan," katanya.
KPU, katanya mengutamakan kapasitas dari calon pemenang lelang. Jangan sampai pemenang lelang tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Lelang pengadaan surat suara dibagi menjadi 10 paket. Khusus untuk paket X, KPU harus melaksanakan lelang ulang karena jumlah perusahaan yang mengajukan penawaran kurang dari dua. Lelang paket X kemudian dipecah menjadi dua paket yakni A dan B untuk pengadaan di wilayah Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara.
KPU menjadwalkan pada akhir Januari 2009 telah dilakukan penandatanganan kontrak kerja dan produksi surat suara dimulai pada awal Februari 2009.
Meski mengalami pengulangan di tahap pascakualifikasi, produksi surat suara dan distribusi untuk wilayah Sulawesi dan Maluku tersebut diyakini tidak akan terhambat.(*)
COPYRIGHT © ANTARA
http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=kpu-umumkan-pemenang-lelang-pengadaan-surat-suara&id=1232682782KPU Tetapkan Pilpres 8 Juli
Kepada wartawan di Jakarta, Kamis (22/1), anggota KPU Abdul Aziz mengatakan bahwa penetapan tanggal pelaksanaan pilpres itu sudah diputuskan melalui Pleno KPU. "Sudah diputuskan oleh rapat pleno (KPU) Pilpres putaran pertama dilaksanakan Rabu 8 Juli dan putaran kedua 8 September 2009," sebutnya.
Aziz menjelaskan, KPU akan memulai tahapan pilpres pada 10 Mei, atau sehari setelah hasil Pemilu Legislatif ditetapkan pada 9 Mei 2008. Azis mengakui, dengan ditetapkanya 8 Juli sebagai tanggal pelaksanaan Pilpres itu berarti KPU tidak perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa gugatan hasil Pemilu.
Menurut Aziz, tahapan Pilpres akan dimulai dengan pemutakhiran daftaran pemilih Pilpres. "DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu legislatif akan menjadi DPS (Daftar Pemilih Sementara) Pilpres," ujar Aziz.
Sebelumnya, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary sempat mengusulkan agar KPU segera menetapkan tanggal Pilpres putaran pertama dan kedua. Bahkan Hafiz sempat memberikan perkiraan tanggal perkiraan Pilpres yang kemungkinan digelar pada 9 Juli.
Menurut Hafiz, KPU sebaiknya memang segera memulai tahapan Pilpres tanpa harus menunggu hasil putusan MK atas sengketa gugatan hasil Pemilu legislatif. Namun demikian Hafiz juga mengakui tahapan Pilpres yang pendek itu juga membuat beban KPU akan semakin berat terutama dalam hal logistik.
Selain itu, kata Hafiz, dengan dimungkinkannya parpol mencabut pasangan capres/cawapres dan menggantikannya dengan pasangan capres/cawapres lain dikhawatirkan akan mengganggu jadwal dan tahapan Pilpres. "Karena tentunya pasangan yang menggantikan perlu diverifikasi juga," ujarnya.(ara/jpnn)
Source:
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=13024
Kamis, 22 Januari 2009
KPU Ngotot Jalankan Zipper System Meski Tanpa Perppu
Anggota KPU Andi Nurpati kemarin (22/1) di kantornya menegaskan, kebijakan itu diambil untuk memastikan bahwa partai benar-benar memberikan jatah satu kursi dari tiga kursi yang didapat untuk perempuan.
''Jadi, bila sebuah partai mendapat tiga kursi dengan tiga caleg lelaki mendapat suara terbanyak, caleg suara terbanyak ketiga harus memberikan kursinya ke perempuan. Penentuan perempuan diambil dari caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak,'' katanya.
Sampai saat ini kebijakan tersebut memang belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sebelumnya, aturan itu sudah diajukan sebagai perppu untuk payung hukumnya. Namun, sampai sekarang perppu itu belum juga keluar.
Meski begitu, Andi memastikan KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu tidak dikabulkan. Sebab, peraturan KPU dianggap sudah cukup kuat. Apalagi, imbuh Andi, keputusan tersebut didasarkan pasal 55 UU 10/2008 Pemilu 2009 mengenai affrimative action atau tindakan khusus sementara.
Perempuan berkerudung itu menambahkan, peraturan tersebut tidak bertolak belakang dengan keputusan MK mengenai suara terbanyak. Peraturan KPU itu, kata Andi, masih sejalan dengan keputusan MK mengenai suara terbanyak. Sebab, MK hanya menghapus pasal 214 urut UU No 10/2008 tentang Nomor Urut. Sementara, pasal 55 mengenai affrimative action tidak dihapus.
Dia mengakui, peraturan itu rawan gugatan. Apalagi, tidak semua partai sepakat dengan ketentuan tersebut. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan.
''Semangat peraturan ini kan untuk mendongkrak keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen. Kalau tidak begini, keterwakilan perempuan tak bisa mencapai itu,'' katanya. (aga/mk)
Source: www.jawapos.com
Bawaslu: KPU Minimalis
"Memori kolektif tergambar di Pemilu 2004, dibandingkan sekarang, KPU terkesan masih minimalis," kata Nur dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Rabu (21/1).
Contohnya, kata dia, belum maksimalnya sosialisasi sistem penandaan surat suara yang baru diberlakukan. "Kemudian tentang cara tanda contreng itu, sekali atau dua kali, itu juga belum jelas," kata Nur Hidayat.
Menurut Nur, persoalan ini terjadi karena manajemen komunikasi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu itu belum berjalan dengan baik.
Di tempat yang sama, anggota KPU Syamsul Bahri juga mengakui bahwa komisi pemilihan di tingkat daerah masih menyimpan keraguan mengenai kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum.
"Misalnya tentang cara penandaan suara. Walau kami sudah punya peraturan, daerah ragu karena masih ada judicial review Undang-undang Pemilu," kata Syamsul.
Syamsul mengatakan sebenarnya KPU telah minta komisi pemilihan tingkat daerah tetap menyosialisasikan pemilihan dengan payung hukum yang sekarang berlaku. Seandainya di tengah jalan nanti ada perubahan aturan, menurut Syamsul, tinggal dilakukan revisi guna menyesuaikan perubahan itu. "Cuma daerah ragu karena khawatir ada gugatan," ujarnya.
Syamsul mengatakan ada perbedaan pengertian tentang tahapan pemilu antara publik dan KPU. Menghadapi itu, komisi pemilihan harus berpegang pada tahapan pemilihan yang sudah dilakukan, bukan mengikuti perspektif publik.
Sementara itu, Koordinator Jaring Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampouw, mengatakan, KPU masih menghadapi masalah. Di antaranya penetapan jadwal pemilihan umum legislatif, dana penyelenggaraan pemilu dan Undang-undang Pemilu. "Namun, komisi tidak mungkin mengundur jadwal lebih dari April. Karena, implikasinya bisa rumit," kata Jeirry.
Implikasi jika jadwal pemilihan legislatif diundur, menurut Jeirry, jumlah daftar pemilih tetap bakal bertambah. Dengan demikian ikut menambah logistik. Itulah sebabnya, Jeirry berharap KPU bersikap tegas untuk tidak mengubah jadwal pelaksanaan pemilu.
Namun, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta jadwal pemilihan umum legislatif diundur. Semula 9 April 2009, mereka minta menjadi 15 April 2009. Alasannya beradu dengan hari besar Katolik, Kamis Suci, yang jatuh pada 4-12 April.
"Pengaruh cukup besar, terkait suasana batin, untuk beribadah, dua tugas warga negara dan warga gereja harus dihormati," kata Ketua DPRD Provinsi NTT Melkianus Adoe, di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/1).
Menurut dia, yang meminta pengunduran jadwal pemilu bukan hanya datang dari DPRD, melainkan pemerintah daerah setempat juga KPU Provinsi NTT. Penduduk yang memiliki hak pilih di kawasan itu mayoritas Katolik. Adoe mengatakan, permintaan itu sudah disampaikan ke KPU sejak lama.
Namun, anggota KPU Andi Nurpati mengatakan, sulit mengubah jadwal yang sudah ditetapkan. Apalagi, sampai mundur enam hari. Menurut dia, itu dapat mengganggu tahapan pemilu yang lainnya. "Solusinya, apakah teknisnya yang diperbaiki tanpa mengubah jadwal sehingga semua bisa jalan," kata Andi.
Menurut Andi, sebelumnya Provinsi Bali juga mengajukan permintaan pengunduran jadwal pemilihan. Di Pulau Dewata itu, 9 April 2009 bertepatan dengan bulan purnama yang diperingati sepuluh tahun sekali.
Untuk Bali, solusinya adalah teknis pemilihan dibuat mudah. Misalnya pemberian suara dilaksanakan menjelang ke pura atau sesudahnya.
Andi juga mengatakan, KPU akan mengadakan penghitungan cepat hasil pemilu legislatif khusus untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Penghitungan cepat ini dimaksudkan untuk menghadirkan transparansi penghitungan suara, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi penghitungan suara secara terbuka. "Mekanismenya akan diatur lebih lanjut. Kita akan merekrut tenaga yang kompeten," katanya.
Sistem yang akan digunakan untuk penghitungan cepat ini melanjutkan dari sistem teknologi informasi yang telah tersedia pada 2004. Data sementara hasil penghitungan cepat berupa salinan rekapitulasi di panitia pemilihan kecamatan akan dikirimkan ke KPU pusat untuk dihitung.
Source : www.suarakarya-online.com
Survey Indo Barometer:Pengetahuan Pemilih Masih Sangat Rendah
| | |
TEMPO Interaktif, Jakarta: Survei Indo Barometer menemukan pengetahuan pemilih tentang pemilihan umum masih sangat rendah. Hal itu dinilai karena sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum masih kurang. "Masih banyak masyarakat yang belum tahu informasi pemilu," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer, Mohammad Qodari dalam Jumpa Pers "Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Pemilu 2009" di Hotel Atlet Century Park, Minggu (11/01).
Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform, Hadar Navis Gumay, mengatakan sosialisasi perlu lebih digencarkan. Meski ada beberapa perubahan, misalnya dalam pemberian suara. "Tidak akan menghambat, tetapi justru akan menguatkan," katanya. Survei dilaksanakan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1.200 orang dengan margin of error 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dipilih dengan metode multistage random sampling. Pengumpulan data dengan wawancara tatap muka yang dilakukan pada 16 Desember hingga 26 Desember 2008.
|
Peran Pemantau Pemilu Tak Maksimal
Peran Pemantau dan Pengawas Pemilu tidak dapat berjalan dengan signifikan dan maksimal pada Pemilu 2009. Pasalnya, masih banyak kelemahan dalam aturan perundang-undangan dalam pengawasan dan pemantauan Pemilu. Karena itu, perlu banyak perbaikan untuk menjadikan Pemilu yang berkualitas.
Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Malang, Ibnu Tricahyo, mencontohkan banyaknya pelanggaran Pemilu yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan baik. Buktinya, keputusan MK yang menyatakan pelaksanaan Pilgub di tiga kabupaten di Madura telah terjadi pelanggaran tersistem, struktural dan masif.
“Hanya saja, tidak ada tindak lanjutnya, siapa yang salah dan siapa yang melakukannya tidak ada kelanjutan secara hukum,” kata Ibnu, dalam Seminar Pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial yang digelar dalam rangka Launching Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Malang raya, di Aula Pesma Al Hikam, kemarin.
Dijelaskan, kejahatan Pemilu harusnya masuk dalam delik hukum khusus yang setingkat dengan teroris. Pasalnya, kejahatan Pemilu itu luar biasa dampaknya. Hanya saja, selama ini kejahatan Pemilu tidak masuk dalam delik khusus.
Sebelumnya, Ketua PP. Otoda Malang itu pernah mengajukan hal tersebut, tapi ajuan itu tidak mendapatkan respon yang baik. Hingga saat ini tidak ada proses untuk mengarah ke ajuan delik khusus. “Jangan putus asa, pemantauan Pemilu menjadi tanggung jawab semua masyarakat. Karena itu saya sepakat, pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial. Masa ini harus dijalani, karena saat ini masa transisi,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten Malang, Andre Dewanto Ahmad memberikan masukan kepada KIPP terkait pola pemantauan Pemilu yang akan dilakukan nanti. Pola pemantauan KIPP yang dilaksanakan Pemilu 2004 atau Pemilu 1999 lalu sudah tidak dapat dilakukan lagi.
Pola pemantauan langsung dengan merekrut banyak relawan hingga sampai TPS akan sangat memakan banyak biaya yang besar. Pola pemantauan bisa melakukan dengan mengumpulkan alat bukti setiap pelanggaran yang terjadi. Salah satu yang paling mudah adalah memantau tahapan Pemilu.
“Kalau ada tahapan yang tidak sesuai, KIPP dapat menyempritnya. Misalnya, terkait logistik atau lainnya. Kalau ada pemantauan seperti itu dari KIPP, kami sudah menyiapkan jawabannya, ya dan akan kami benahi,” terang Andre sambil tersenyum.
Untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 2009, KIPP telah terbentuk di Malang raya. KIPP tidak hanya sekedar melihat dari luas proses pelaksanaan Pemilu, tapi lebih luas dari itu. KIPP turut menjadi bagian dari simpul masyarakat sipil yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat. (aim/udi) (muhaimin/malangpost)
Source: http://malangraya.web.id/2009/01/12/peran-pemantau-pemilu-tak-maksimal/KIPP MALANG RAYA DIHARAPKAN FOKUS PADA PELANGGARAN PEMILU.
Hal itu terungkap dalam Sarasehan dan launching KIPP Malang raya, dengan tema Pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial.
Sarasehan yang berlangsung sekitar 3 jam itu menghadirkan beberapa pemateri antara lain, Ketua KPU Kabupaten Malang yaitu Andry Dewanto Ahmad, Dosen Fakultas Hukum yaitu Ibnu Tri Cahyo, dan Doddy Wisnu Pribadi yang merupakan wartawan kompas.
Dalam penjelasannya, Ibnu Tri cahyo mengatakan, lembaga pemantau independen sangat diperlukan mengingat kinerja dari panwaslu di daerah terkadang tidak optimal.
Menurut Ibnu, kejahatan pemilu yang sampai saat ini terjadi, seharusnya dikategorikan dalam pidana khusus setingkat terorisme, karena kejahatan yang dilakukan dapat menghabiskan uang sampai miliaran rupiah. (FAN)
Source: http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7603&page=1
PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG, KABUPATEN MALANG, DAN KOTA BATU (10 JANUARI 2009)
Pasca Orde Baru Indonesia mengalami proses demokratisasi yang begitu cepat. Dibukanya keran kebebasan bagi rakyat membuat rakyat sangat leluasa menyampaikan pendapatnya, rakyat bebas mendirikan organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan partai politik pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 menjadi pemilu demokratis pertama di Indonesia pasca Orde Baru dengan diikuti oleh 48 partai politik. Gairah berdemokrasi yang besar tersebut membuat Indonesia disebut-sebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India.
Gairah berdemokrasi yang besar itulah yang kemudian menjadikan raison d'etre Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). KIPP bukanlah “barang baru” dalam sejarah demokratisasi di Indonesia. KIPP telah muncul sejak tahun 1996 ketika Orde Baru masih memegang kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa walaupun ditekan oleh rezim Orde Baru namun KIPP mampu eksis hingga hari ini.
Sebagai sebuah lembaga pemantau KIPP bukanlah organisasi yang sekedar melihat dari luar proses pelaksanaan pemilu. KIPP dengan prinsip independen, nonpartisan, dan berperspektif gender memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar memantau proses pemilu. KIPP turut menjadi bagian dari simpul masyarakat sipil yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat, advokasi demokrasi, penelitian dan pengembangan pemilu, dan mengkampanyekan pemilu demokratis. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil, dan juga terwujudnya kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Selain itu keberadaan KIPP yang di luar sistem membuat KIPP tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis manapun. Inilah yang membedakan KIPP dengan lembaga-lembaga pemantau atau pengawas pemilu lainnya, khususnya Panwaslu.
Dalam menjalankan fungsi pemantauannya KIPP bukanlah menjadi musuh dari penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. KIPP justru menjadi mitra dari keduanya dalam mewujudkan pemilu demokratis dengan senantiasa mengawasi dan mengkoreksi sikap dan tindakan dari keduanya yang tidak sesuai dengan visi terwujudnya pemilu yang luber dan jurdil. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mematangkan demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut itulah KIPP se-Malang Raya melakukan pembacaan pada tiga simpul yang ada dalam mewujudkan pemilu demokratis. Tiga simpul itun adalah penyelenggara pemilu, peserta pemilu (calon legislatif/partai politik), dan rakyat sebagai pemilih. Berdasarkan pembacaan terhadap ketiga simpul itulah KIPP se-Malang Raya melihat beberapa perkembangan akhir-akhir yang berpotensi memunculkan ketidaksiapan pemilu tahun 2009, dan menjadikan pemilu kali ini keluar dari rel demokrasi.
Pada simpul penyelenggaraan pemilu dalam skala Malang Raya, KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi kesiapan KPUD se-Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) dalam melakukan pemutakhiran data pemilih. KPUD se-Malang Raya perlu secara transparan mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang perkembangan kesiapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pemutakhirannya. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat mengetahui apakah haknya untuk memilih telah diakomodir oleh negara. Selain itu pengkomunikasian pemutakhiran DPT tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya DPT yang tidak akurat sehingga berpotensi memunculkan golput sebagaimana ketidakakuratan DPT di Kabupaten Jember (Radar Jember, 14 Desember 2008).
Dalam skala nasional KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi pengajuan Perpres perubahan ke-8 Keppres Nomor 80/2003 oleh KPU. Perpres tersebut nantinya akan menjadikan penunjukan rekanan pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan dilakukan melalui penunjukan langsung. Pengadaan perlengkapan pemilu dengan penunjukan langsung tersebut membuat lembaga pengawas dan masyarakat tidak dapat memiliki akses untuk mengawasi proses penunjukan. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa model penunjukan langsung membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada simpul peserta pemilu (caleg/parpol), KIPP se-Malang Raya melihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu telah memunculkan dua sisi paradoks dalam proses demokratisasi. Di satu sisi, dipilihnya calon legislatif berdasarkan suara terbanyak membuat legislator yang terpilih nanti benar-benar representasi kedaulatan rakyat. Namun di sisi lain putusan MK tersebut berpotensi menjadikan persaingan yang sengit antar caleg mengarah pada permainan politik uang (money politic). Potensi politik uang tersebut didorong oleh persaingan perebutan kursi yang ketat, dimana caleg yang memiliki modal besar dapat dengan mudah menggusur caleg dengan modal minimalis. Potensi politik uang tersebut juga dipengaruhi oleh belum matangnya kedewasaan politik rakyat.
Pada simpul rakyat sebagai pemilih, KIPP se-Malang Raya melihat bahwa potensi munculnya golput masih tetap ada. Jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilkada di Malang Raya, maka potensi golput tetap tinggi. Misalnya, jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilwali Kota Malang maka tingkat golput adalah 32 persen. Potensi tingginya golput tersebut dapat dicegah melalui pendidikan politik yang intens kepada rakyat Malang Raya. Di sinilah KIPP se-Malang Raya nantinya memegang peranan, tentunya bersama-sama dengan pihak penyelenggara pemilu.
Berdasarkan pembacaan pada ketiga simpul pemilu 2009 tersebut, KIPP se-Malang Raya menyatakan sikapnya sebagai berikut:
KIPP se-Malang Raya akan selalu menjadi lembaga pemantau yang independen dan nonpartisan. Oleh karena KIPP se-Malang Raya tidak akan pernah dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis.
KIPP se-Malang Raya dalam Pemilu 2009 akan menjalankan fungsinya dalam mewujudkan masyarakat sipil di Malang Raya yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil dan mewujudkan pula kesadaran dan partisipasi politik rakyat.
KIPP se-Malang Raya menyerukan perlunya perbaikan kinerja KPU maupun KPUD se-Malang Raya, terutama pemutakhiran dan pengkomunikasian data pemilih. KIPP se-Malang Raya mengkhawatirkan potensi golput yang muncul akibat ketidakakuratan data pemilih.
KIPP se-Malang Raya meminta Panwaslu se-Malang Raya untuk senantiasa aktif mengawasi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dalam rangka mewujudkan pemilu demokratis.
KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada parpol untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan sebagai media penjaringan amanat rakyat.
KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada masyarakat Malang Raya untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu 2009. Bukan hanya dengan aktif menggunakan hak pilih namun juga aktif mengawasi pelaksanaan pemilu.
KIPP se-Malang Raya mengajak pers di Malang Raya untuk mengawal pelaksanaan pemilu 2009 demi terwujudnya pemilu demokratis, luber, dan jurdil.
Demikianlah sikap KIPP se-Malang Raya untuk diperhatikan oleh setiap stakeholder Pemilu 2009 di Malang Raya.
Malang, 10 Januari 2009
Sigit Nurhadi Nugraha Ruhadi Rarundra
Ketua KIPP Kota Malang Ketua KIPP Kab.Malang
Felik Sad Windu
Ketua KIPP Kota Batu