Pasca Orde Baru Indonesia mengalami proses demokratisasi yang begitu cepat. Dibukanya keran kebebasan bagi rakyat membuat rakyat sangat leluasa menyampaikan pendapatnya, rakyat bebas mendirikan organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan partai politik pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 menjadi pemilu demokratis pertama di Indonesia pasca Orde Baru dengan diikuti oleh 48 partai politik. Gairah berdemokrasi yang besar tersebut membuat Indonesia disebut-sebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India.
Gairah berdemokrasi yang besar itulah yang kemudian menjadikan raison d'etre Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). KIPP bukanlah “barang baru” dalam sejarah demokratisasi di Indonesia. KIPP telah muncul sejak tahun 1996 ketika Orde Baru masih memegang kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa walaupun ditekan oleh rezim Orde Baru namun KIPP mampu eksis hingga hari ini.
Sebagai sebuah lembaga pemantau KIPP bukanlah organisasi yang sekedar melihat dari luar proses pelaksanaan pemilu. KIPP dengan prinsip independen, nonpartisan, dan berperspektif gender memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar memantau proses pemilu. KIPP turut menjadi bagian dari simpul masyarakat sipil yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat, advokasi demokrasi, penelitian dan pengembangan pemilu, dan mengkampanyekan pemilu demokratis. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil, dan juga terwujudnya kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Selain itu keberadaan KIPP yang di luar sistem membuat KIPP tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis manapun. Inilah yang membedakan KIPP dengan lembaga-lembaga pemantau atau pengawas pemilu lainnya, khususnya Panwaslu.
Dalam menjalankan fungsi pemantauannya KIPP bukanlah menjadi musuh dari penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. KIPP justru menjadi mitra dari keduanya dalam mewujudkan pemilu demokratis dengan senantiasa mengawasi dan mengkoreksi sikap dan tindakan dari keduanya yang tidak sesuai dengan visi terwujudnya pemilu yang luber dan jurdil. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mematangkan demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut itulah KIPP se-Malang Raya melakukan pembacaan pada tiga simpul yang ada dalam mewujudkan pemilu demokratis. Tiga simpul itun adalah penyelenggara pemilu, peserta pemilu (calon legislatif/partai politik), dan rakyat sebagai pemilih. Berdasarkan pembacaan terhadap ketiga simpul itulah KIPP se-Malang Raya melihat beberapa perkembangan akhir-akhir yang berpotensi memunculkan ketidaksiapan pemilu tahun 2009, dan menjadikan pemilu kali ini keluar dari rel demokrasi.
Pada simpul penyelenggaraan pemilu dalam skala Malang Raya, KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi kesiapan KPUD se-Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) dalam melakukan pemutakhiran data pemilih. KPUD se-Malang Raya perlu secara transparan mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang perkembangan kesiapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pemutakhirannya. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat mengetahui apakah haknya untuk memilih telah diakomodir oleh negara. Selain itu pengkomunikasian pemutakhiran DPT tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya DPT yang tidak akurat sehingga berpotensi memunculkan golput sebagaimana ketidakakuratan DPT di Kabupaten Jember (Radar Jember, 14 Desember 2008).
Dalam skala nasional KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi pengajuan Perpres perubahan ke-8 Keppres Nomor 80/2003 oleh KPU. Perpres tersebut nantinya akan menjadikan penunjukan rekanan pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan dilakukan melalui penunjukan langsung. Pengadaan perlengkapan pemilu dengan penunjukan langsung tersebut membuat lembaga pengawas dan masyarakat tidak dapat memiliki akses untuk mengawasi proses penunjukan. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa model penunjukan langsung membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada simpul peserta pemilu (caleg/parpol), KIPP se-Malang Raya melihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu telah memunculkan dua sisi paradoks dalam proses demokratisasi. Di satu sisi, dipilihnya calon legislatif berdasarkan suara terbanyak membuat legislator yang terpilih nanti benar-benar representasi kedaulatan rakyat. Namun di sisi lain putusan MK tersebut berpotensi menjadikan persaingan yang sengit antar caleg mengarah pada permainan politik uang (money politic). Potensi politik uang tersebut didorong oleh persaingan perebutan kursi yang ketat, dimana caleg yang memiliki modal besar dapat dengan mudah menggusur caleg dengan modal minimalis. Potensi politik uang tersebut juga dipengaruhi oleh belum matangnya kedewasaan politik rakyat.
Pada simpul rakyat sebagai pemilih, KIPP se-Malang Raya melihat bahwa potensi munculnya golput masih tetap ada. Jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilkada di Malang Raya, maka potensi golput tetap tinggi. Misalnya, jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilwali Kota Malang maka tingkat golput adalah 32 persen. Potensi tingginya golput tersebut dapat dicegah melalui pendidikan politik yang intens kepada rakyat Malang Raya. Di sinilah KIPP se-Malang Raya nantinya memegang peranan, tentunya bersama-sama dengan pihak penyelenggara pemilu.
Berdasarkan pembacaan pada ketiga simpul pemilu 2009 tersebut, KIPP se-Malang Raya menyatakan sikapnya sebagai berikut:
KIPP se-Malang Raya akan selalu menjadi lembaga pemantau yang independen dan nonpartisan. Oleh karena KIPP se-Malang Raya tidak akan pernah dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis.
KIPP se-Malang Raya dalam Pemilu 2009 akan menjalankan fungsinya dalam mewujudkan masyarakat sipil di Malang Raya yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil dan mewujudkan pula kesadaran dan partisipasi politik rakyat.
KIPP se-Malang Raya menyerukan perlunya perbaikan kinerja KPU maupun KPUD se-Malang Raya, terutama pemutakhiran dan pengkomunikasian data pemilih. KIPP se-Malang Raya mengkhawatirkan potensi golput yang muncul akibat ketidakakuratan data pemilih.
KIPP se-Malang Raya meminta Panwaslu se-Malang Raya untuk senantiasa aktif mengawasi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dalam rangka mewujudkan pemilu demokratis.
KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada parpol untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan sebagai media penjaringan amanat rakyat.
KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada masyarakat Malang Raya untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu 2009. Bukan hanya dengan aktif menggunakan hak pilih namun juga aktif mengawasi pelaksanaan pemilu.
KIPP se-Malang Raya mengajak pers di Malang Raya untuk mengawal pelaksanaan pemilu 2009 demi terwujudnya pemilu demokratis, luber, dan jurdil.
Demikianlah sikap KIPP se-Malang Raya untuk diperhatikan oleh setiap stakeholder Pemilu 2009 di Malang Raya.
Malang, 10 Januari 2009
Sigit Nurhadi Nugraha Ruhadi Rarundra
Ketua KIPP Kota Malang Ketua KIPP Kab.Malang
Felik Sad Windu
Ketua KIPP Kota Batu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar