Kamis, 19 Februari 2009

KPU Bisa Dinilai Menghalangi

Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum tidak berlarut-larut mewacanakan perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sebagai implementasi putusan MK soal suara terbanyak.

Apabila hal itu dilakukan terus-menerus, bahkan mengancam untuk kembali menggunakan Pasal 214, KPU dapat dinilai menghalang-halangi penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009.

Terkait dengan hal itu, Mahfud menyatakan ada konsekuensi politis dan hukum yang harus ditanggung KPU. ”Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara, seperti diatur dalam Pasal 309 Ayat (3) dengan hukuman 12 bulan hingga 24 bulan,” ujar Mahfud dalam jumpa pers, Rabu (18/2).

Mahfud menggelar jumpa pers khusus untuk menanggapi pernyataan anggota KPU, Andi Nurpati, yang dilansir media massa, Rabu (18/2). Andi mengatakan, apabila perpu terkait penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak tidak diterbitkan pekan ini, KPU bersiap mengeluarkan peraturan KPU untuk menggunakan kembali Pasal 214 UU No 10/2008 yang sudah dibatalkan MK (Kompas, 18/2).

Mahfud menegaskan, tidak semua putusan MK membutuhkan perpu atau revisi UU. Alasan KPU yang menyatakan bahwa putusan pengadilan (MK) bersifat konkret sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum adalah keliru. ”Saya ingatkan KPU agar tidak berwacana dengan soal-soal teori hukum,” katanya.

Mahfud juga mengingatkan KPU soal pengaturan terkait zipper system. Menurut Mahfud, UU No 10/2008 dan putusan MK tidak mengenal sistem tersebut. Tidak ada kewajiban bahwa di antara tiga calon anggota legislatif terpilih harus ada satu perempuan. Hal tersebut hanya berlaku pada penetapan caleg.

Mendagri Mardiyanto mengatakan, kalaupun jadi, perpu dikeluarkan karena ada kebutuhan, tidak merugikan pihak mana pun, dan juga tidak akan mengganggu proses yang sudah berjalan. Pihak pemerintah masih merumuskan materi perpu tersebut. ”Tapi, tidak akan lama,” katanya di Gedung DPR, Rabu.

Mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso, mengatakan, wacana perlu atau tidaknya perpu harus disudahi. Selain tidak produktif, wacana itu justru dapat mengganggu persiapan pelaksanaan pemilu.

KPU sebaiknya fokus kepada UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan bahwa pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda satu kali. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih KPU dengan sosialisasi secara besar-besaran mengenai cara penandaan karena banyak warga yang belum tahu.

Hal senada juga dilontarkan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti. Menurutnya, wacana KPU untuk kembali ke nomor urut dinilai sangat tidak dapat diterima. KPU sudah cukup mengatur penetapan suara terbanyak tanpa perlu perpu.

Sumber : www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar