Keringnya pemahaman pelajar pemilih pemula terhadap pemilu dapat dilihad pada hasil survey KIPP Kota Malang terhadap 300 responden pelajar pemilih pemula. Dari survey yang telah dilakukan KIPP Kota Malang pada beberapa siswa kelas 3 SMA, ternyata 54% di antara mereka belum mengetahui kapan pemilu akan diadakan. Yang lebih menarik dari hasil survey ini adalah tentang tata cara pemilihan nantinya, dimana yang biasanya pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos pada pemilu kali ini diganti dengan mencontreng. Lebih dari separuh pelajar pemilih pemula tidak mengetahui hal ini. Masih dari survey ternyata hanya 43% yang mengetahui pemberian tanda adalah dengan mencontreng, sedangkan 47% masih mengira pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos, 9% lainnya mengaku tidak tahu. Dari hasil survei tersebut, kita dapat melihat betapa masih minimnya penetrasi budaya mencontreng di kalangan masyarakat.
Pemberian tanda dengan menconteng ini tampaknya juga lebih rumit dari sebelumnya. Pada surat suara nantinya akan terpampang gambar partai, nama partai, serta sederet nama calon legislatif yang diajukan. Nama-nama ini tentunya berukuran kecil, sehingga cara mencontreng juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Terdapat 25% responden yang tidak mengetahui di kolom manakah pemberian tanda pada surat suara yang dianggap sah. Sementara ada 6% responden yang justru berpotensi membuat suaranya tidak sah karena menganggap pemberian tanda harus dilakukan pada ketiga kolom dalam surat suara (gambar partai, dan nomor caleg, dan nama caleg). Padahal sesuai Pasal 153 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemberian tanda pada surat suara hanya 1 kali.
Hasil survey KIPP Kota Malang tersebut menunjukkan bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan pemilu kepada masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula. Minimnya sosialisasi tersebut akan menjadi ancaman bagi tingkat partisipasi pemilih. Kurangnya sosialisasi tentang metode pemberian tanda pada surat suara juga dapat menyebabkan kekacauan pada hari pemungutan suara karena banyaknya suara yang tidak sah akibat minimnya sosialisasi budaya mencontreng.
Fakta minimnya pemahaman responden pelajar pemilih pemula tersebut sungguh ironis karena sebenarnya mereka adalah golongan yang termasuk dekat dengan sarana informasi, baik berupa koran, televisi, bahkan beberapa diantaranya mengaku sering mengakses internet. Hanya 3% responden yang mengaku tidak pernah menonton berita di televisi, dan 44% mengaku sering mengakses internet. Fakta ini menunjukkan bahwa terbukanya akses informasi tidak akan berpengaruh pada pemilih jika ternyata sosialisasi oleh penyelenggara Pemilu justru minim
Hasil survey ini memunculkan kekhawatiran atas dapat tidaknya pemilu kali ini terselenggara dengan sukses. Bagaimana mungkin pemilu dapat memunculkan wakil rakyat yang legitimate jika nantinya jumlah golput lebih banyak daripada jumlah yang menggunakan hak pilih. Bagaimana pula pemilu dapat dikatakan sukses jika nantinya banyak suara yang tidak sah karena kurangnya sosialisasi tentang hal-hal teknis pemilu kepada masyarakat. Kegagalan pemilu bukanlah sekedar kerugian materiil dengan mahalnya biaya yang telah dikeluarkan, namun juga kerugian moril bangsa ini karena telah gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang representatif.
Keringnya pemahaman masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula, terhadap pemilu menjadi tanggung jawab setiap stakeholder pemilu. Hal ini bukan sekedar tanggung jawab penyelenggara pemilu yang minim sosialisasi, namun juga tanggung jawab partai politik dan caleg-calegnya. Bukankah salah fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat? Lalu di mana peran partai politik saat ini? Jangan sampai partai politik hanya berburu suara namun melupakan fungsi idealnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, KIPP Kota Malang menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu terutama pada kalangan pelajar pemilih pemula. Oleh karena itu KPU Kota Malang harus sesegera mungkin mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu dengan menggandeng elemen-elemen masyarakat di Kota Malang.
2. KPU Kota Malang harus lebih intens mensosialisasikan hal teknis pemberian tanda pada surat suara. Minimnya sosialisasi dalam hal teknis tersebut dapat menjadi ancaman tingginya suara yang tidak sah akibat salah dalam memberikan tanda.
3. Partai politik dan caleg-caleg juga harus ambil bagian dalam proses pendidikan politik kepada rakyat. Keringnya pengetahuan politik masyarakat adalah wujud kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi pendidikan politik.
4. Media massa di Kota Malang perlu turut serta mensosialisasikan hal-hal teknis pemilu pada masyarakat. Hal ini menjadi bentuk konkrit peranan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar