JAKARTA - Penyelenggaraan pemilu kali ini benar-benar penuh kekhawatiran. Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) sebagai payung hukum untuk penambahan DPT (daftar pemilih tetap) dan tata cara penandaan pemilu akan diberlakukan tanpa persetujuan DPR. Tanpa legitimasi wakil rakyat, penerapan perppu itu akan menjadi titik lemah yang membuka pintu gugatan pemilu.
Rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin menyepakati DPR baru menyikapi perppu tersebut pada masa sidang berikutnya. Padahal, masa sidang itu baru dilakukan 13 April 2009, setelah pemilu legislatif. Sementara perppu digunakan dalam pemilu legislatif 9 April 2009.
"Secara substansi kami tidak ada masalah, tinggal masalah prosedural," ujar Ketua Komisi II E.E. Mangindaan, saat membuka kembali raker usai diskors, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin (2/3).
Dia menambahkan, pimpinan fraksi dan komisi yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri itu, bersama pemerintah dan KPU telah sepakat memberikan persetujuan perppu tersebut pada masa sidang DPR berikutnya. Komitmen itu dituangkan dalam bentuk tanda tangan perwakilan fraksi di Komisi II. "Kami sudah berkomitmen mendukungnya. Ini hanya soal waktu," tambah politikus asal Partai Demokrat tersebut.
Sejak pertama raker yang diikuti Mendagri Mardiyanto serta anggota KPU Samsul Bahri dan Sri Nuryanti itu dibuka, hujan interupsi dari sejumlah anggota Komisi II terus mengalir. Ada yang mendukung agar perppu tersebut segera disikapi DPR di sidang paripurna hari ini. Tapi, banyak pula yang sebaliknya.
"Agak mengkhawatirkan kalau perppu ini berjalan tanpa penguatan dari DPR," ujar anggota Komisi II dari FPKS Agus Purnomo. Sebab, menurut dia, pembukaan masa sidang DPR selanjutnya pada 13 April telah melewati masa pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April.
"Perppu ini juga butuh jaminan politik," tambahnya. Jangan sampai, lanjut dia, hasil pemilu dipersoalkan oleh pihak yang tidak puas melalui materi substansi dari perppu tentang perubahan cara menandai dan penambahan DPT tersebut.
Anggota Komisi II dari FPG Ferry Mursyidan Baldan menambahkan, penyikapan dari DPR sebaiknya tidak perlu ditunda-tunda lagi. Apalagi, Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga telah menugasi Komisi II untuk mengagendakannya di sidang paripurna. "Lebih cepat kan lebih baik. Kalau bisa (masa sidang) sekarang, kenapa harus ditunda?" ujarnya.
Namun, sikap para pendukung penundaan juga tidak kalah sengit. Mereka menggunakan dasar konstitusi. "Prosedur rapat ini bagaimana? Pembahasan soal perppu ini sudah jelas diatur dalam UUD 1945," tegas anggota Komisi II dari FPPP Chozin Chumaidy.
Dia mengungkap, pasal 22 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap perppu mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Ayat selanjutnya, ayat (3), menyatakan, jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut. Hasil persetujuan itu adalah UU baru tentang perubahan UU sebelumnya.
Anggota Komisi II lainnya, Andi Yuliani Paris, menambahkan, persetujuan perppu untuk menjadi UU pada masa sidang berikutnya tidak akan menghalangi KPU untuk tetap bisa menggunakan perppu tersebut. "Tapi, jangan karena kepentingan, konstitusi lantas dilanggar," tandasnya.
Sementara itu, menanggapi hasil raker tersebut, anggota KPU Syamsul Bahri tak berkomentar banyak. "Kami tidak masalah, disetujui (masa sidang) sekarang atau nanti, kami tetap siap melaksanakan perppu tersebut," ujarnya.
Apakah tidak khawatir dengan ketiadaan penyikapan DPR ini? "Tidak ada. Ini sudah kesepakatan rapat," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Fajrul Falaakh menilai, penerapan perppu tanpa persetujuan DPR itu memang cukup beresiko. Pemerintah, dalam hal ini presiden, akan menjadi kambing hitam jika sewaktu-waktu muncul persoalan di pemilu yang berhubungan dengan isi perppu. "Ini kan kelihatan sekali kalau DPR ingin lepas tangan," ujarnya, saat dihubungi.
Apakah hasil pemilunya sendiri juga bisa dipersoalkan? "Peluang itu ada, dan antisipasi yang dilakukan DPR, bahwa mereka tidak ikut bertanggung jawab akan hal itu," tambahnya.
Terkait dengan kemungkinan penolakan yang dilakukan DPR terhadap perppu itu nantinya, Fajrul juga menyatakan tetap sangat mungkin terjadi. Apalagi, jika ternyata memang muncul masalah akibat perppu tersebut. "Itu akan jadi senjata efektif untuk menyerang presiden, mengingat masa kerja DPR yang baru selesai hingga September nanti," pungkasnya. (dyn/tof)
http://www.jawapos.com/
Senin, 02 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar