Jumat, 23 Januari 2009

KPU Umumkan Pemenang Lelang Pengadaan Surat Suara

Jakarta (ANTARA News) - Panitia Pengadaan Surat Suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pemenang lelang surat suara untuk sembilan paket, di Jakarta, Jumat.

Pemenang lelang surat suara untuk paket I yakni konsorsium PT. Pura Barutama, paket II konsorsium PT. Sumex Intermedia, paket III konsorsium CV. Ganeca Exact Bandung, dan paket IV konsorsium PT Sinar Agape Press.

Sementara itu, pemenang lelang surat suara untuk paket V yakni konsorsium CV. Ganeca Exact Bandung, paket VI konsorsium PT. Masscom Graphy, dan paket VII konsorsium PT. Pura Barutama. Untuk lelang paket VIII dan IX dimenangkan oleh konsorsium PT. Temprina Media Grafika.

Sebelumnya, anggota KPU Abdul Aziz, mengatakan dalam menentukan pemenang lelang surat suara, panitia pengadaan perlu memperhitungkan betul kemampuan konsorsium mengingat terdapat konsorsium yang mengikuti lebih dari satu paket lelang sekaligus baik untuk pengadaan surat suara maupun formulir..

"Kalau mampu tidak masalah," katanya sebelumnya.

Seperti diketahui panitia telah memecah pengadaan surat suara menjadi 10 paket dan terdapat konsorsium yang mengikuti lelang pengadaan surat suara untuk beberapa paket.

Diantara konsorsium yang mengikuti beberapa paket lelang surat suara juga mengikuti lelang pengadaan formulir.

"Kita pertimbangkan apabila calon pemenang lelang surat suara juga ikut untuk penawaran formulir. Apakah bisa dia mengadakan dua kegiatan pengadaan surat suara dan formulir atau harus ada batasan," katanya.

KPU, katanya mengutamakan kapasitas dari calon pemenang lelang. Jangan sampai pemenang lelang tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Lelang pengadaan surat suara dibagi menjadi 10 paket. Khusus untuk paket X, KPU harus melaksanakan lelang ulang karena jumlah perusahaan yang mengajukan penawaran kurang dari dua. Lelang paket X kemudian dipecah menjadi dua paket yakni A dan B untuk pengadaan di wilayah Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara.

KPU menjadwalkan pada akhir Januari 2009 telah dilakukan penandatanganan kontrak kerja dan produksi surat suara dimulai pada awal Februari 2009.

Meski mengalami pengulangan di tahap pascakualifikasi, produksi surat suara dan distribusi untuk wilayah Sulawesi dan Maluku tersebut diyakini tidak akan terhambat.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=kpu-umumkan-pemenang-lelang-pengadaan-surat-suara&id=1232682782

KPU Tetapkan Pilpres 8 Juli

JAKARTA - Setelah sempat kebingungan menetapkan tanggal pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres), akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pelaksanaan Pilpres putaran pertama pada 8 Juli 2009. Sedangkan Pilpres putaran kedua pada 8 September.

Kepada wartawan di Jakarta, Kamis (22/1), anggota KPU Abdul Aziz mengatakan bahwa penetapan tanggal pelaksanaan pilpres itu sudah diputuskan melalui Pleno KPU. "Sudah diputuskan oleh rapat pleno (KPU) Pilpres putaran pertama dilaksanakan Rabu 8 Juli dan putaran kedua 8 September 2009," sebutnya.

Aziz menjelaskan, KPU akan memulai tahapan pilpres pada 10 Mei, atau sehari setelah hasil Pemilu Legislatif ditetapkan pada 9 Mei 2008. Azis mengakui, dengan ditetapkanya 8 Juli sebagai tanggal pelaksanaan Pilpres itu berarti KPU tidak perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa gugatan hasil Pemilu.

Menurut Aziz, tahapan Pilpres akan dimulai dengan pemutakhiran daftaran pemilih Pilpres. "DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu legislatif akan menjadi DPS (Daftar Pemilih Sementara) Pilpres," ujar Aziz.

Sebelumnya, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary sempat mengusulkan agar KPU segera menetapkan tanggal Pilpres putaran pertama dan kedua. Bahkan Hafiz sempat memberikan perkiraan tanggal perkiraan Pilpres yang kemungkinan digelar pada 9 Juli.

Menurut Hafiz, KPU sebaiknya memang segera memulai tahapan Pilpres tanpa harus menunggu hasil putusan MK atas sengketa gugatan hasil Pemilu legislatif. Namun demikian Hafiz juga mengakui tahapan Pilpres yang pendek itu juga membuat beban KPU akan semakin berat terutama dalam hal logistik.

Selain itu, kata Hafiz, dengan dimungkinkannya parpol mencabut pasangan capres/cawapres dan menggantikannya dengan pasangan capres/cawapres lain dikhawatirkan akan mengganggu jadwal dan tahapan Pilpres. "Karena tentunya pasangan yang menggantikan perlu diverifikasi juga," ujarnya.(ara/jpnn)

Source:
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=13024

Kamis, 22 Januari 2009

KPU Ngotot Jalankan Zipper System Meski Tanpa Perppu

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap akan memasukkan zipper system ke dalam peraturan KPU tentang penetapan dan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Itu untuk mengakomodasi suara perempuan agar mendapat kursi ketiga dari tiga kursi yang didapatkan partai.

Anggota KPU Andi Nurpati kemarin (22/1) di kantornya menegaskan, kebijakan itu diambil untuk memastikan bahwa partai benar-benar memberikan jatah satu kursi dari tiga kursi yang didapat untuk perempuan.

''Jadi, bila sebuah partai mendapat tiga kursi dengan tiga caleg lelaki mendapat suara terbanyak, caleg suara terbanyak ketiga harus memberikan kursinya ke perempuan. Penentuan perempuan diambil dari caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak,'' katanya.

Sampai saat ini kebijakan tersebut memang belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sebelumnya, aturan itu sudah diajukan sebagai perppu untuk payung hukumnya. Namun, sampai sekarang perppu itu belum juga keluar.

Meski begitu, Andi memastikan KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu tidak dikabulkan. Sebab, peraturan KPU dianggap sudah cukup kuat. Apalagi, imbuh Andi, keputusan tersebut didasarkan pasal 55 UU 10/2008 Pemilu 2009 mengenai affrimative action atau tindakan khusus sementara.

Perempuan berkerudung itu menambahkan, peraturan tersebut tidak bertolak belakang dengan keputusan MK mengenai suara terbanyak. Peraturan KPU itu, kata Andi, masih sejalan dengan keputusan MK mengenai suara terbanyak. Sebab, MK hanya menghapus pasal 214 urut UU No 10/2008 tentang Nomor Urut. Sementara, pasal 55 mengenai affrimative action tidak dihapus.

Dia mengakui, peraturan itu rawan gugatan. Apalagi, tidak semua partai sepakat dengan ketentuan tersebut. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan.

''Semangat peraturan ini kan untuk mendongkrak keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen. Kalau tidak begini, keterwakilan perempuan tak bisa mencapai itu,'' katanya. (aga/mk)

Source: www.jawapos.com

Bawaslu: KPU Minimalis

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum maksimal menjadi leading sector penyelenggara pemilihan umum.

"Memori kolektif tergambar di Pemilu 2004, dibandingkan sekarang, KPU terkesan masih minimalis," kata Nur dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Rabu (21/1).

Contohnya, kata dia, belum maksimalnya sosialisasi sistem penandaan surat suara yang baru diberlakukan. "Kemudian tentang cara tanda contreng itu, sekali atau dua kali, itu juga belum jelas," kata Nur Hidayat.

Menurut Nur, persoalan ini terjadi karena manajemen komunikasi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu itu belum berjalan dengan baik.

Di tempat yang sama, anggota KPU Syamsul Bahri juga mengakui bahwa komisi pemilihan di tingkat daerah masih menyimpan keraguan mengenai kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum.

"Misalnya tentang cara penandaan suara. Walau kami sudah punya peraturan, daerah ragu karena masih ada judicial review Undang-undang Pemilu," kata Syamsul.

Syamsul mengatakan sebenarnya KPU telah minta komisi pemilihan tingkat daerah tetap menyosialisasikan pemilihan dengan payung hukum yang sekarang berlaku. Seandainya di tengah jalan nanti ada perubahan aturan, menurut Syamsul, tinggal dilakukan revisi guna menyesuaikan perubahan itu. "Cuma daerah ragu karena khawatir ada gugatan," ujarnya.

Syamsul mengatakan ada perbedaan pengertian tentang tahapan pemilu antara publik dan KPU. Menghadapi itu, komisi pemilihan harus berpegang pada tahapan pemilihan yang sudah dilakukan, bukan mengikuti perspektif publik.

Sementara itu, Koordinator Jaring Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampouw, mengatakan, KPU masih menghadapi masalah. Di antaranya penetapan jadwal pemilihan umum legislatif, dana penyelenggaraan pemilu dan Undang-undang Pemilu. "Namun, komisi tidak mungkin mengundur jadwal lebih dari April. Karena, implikasinya bisa rumit," kata Jeirry.

Implikasi jika jadwal pemilihan legislatif diundur, menurut Jeirry, jumlah daftar pemilih tetap bakal bertambah. Dengan demikian ikut menambah logistik. Itulah sebabnya, Jeirry berharap KPU bersikap tegas untuk tidak mengubah jadwal pelaksanaan pemilu.

Namun, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta jadwal pemilihan umum legislatif diundur. Semula 9 April 2009, mereka minta menjadi 15 April 2009. Alasannya beradu dengan hari besar Katolik, Kamis Suci, yang jatuh pada 4-12 April.

"Pengaruh cukup besar, terkait suasana batin, untuk beribadah, dua tugas warga negara dan warga gereja harus dihormati," kata Ketua DPRD Provinsi NTT Melkianus Adoe, di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (21/1).

Menurut dia, yang meminta pengunduran jadwal pemilu bukan hanya datang dari DPRD, melainkan pemerintah daerah setempat juga KPU Provinsi NTT. Penduduk yang memiliki hak pilih di kawasan itu mayoritas Katolik. Adoe mengatakan, permintaan itu sudah disampaikan ke KPU sejak lama.

Namun, anggota KPU Andi Nurpati mengatakan, sulit mengubah jadwal yang sudah ditetapkan. Apalagi, sampai mundur enam hari. Menurut dia, itu dapat mengganggu tahapan pemilu yang lainnya. "Solusinya, apakah teknisnya yang diperbaiki tanpa mengubah jadwal sehingga semua bisa jalan," kata Andi.

Menurut Andi, sebelumnya Provinsi Bali juga mengajukan permintaan pengunduran jadwal pemilihan. Di Pulau Dewata itu, 9 April 2009 bertepatan dengan bulan purnama yang diperingati sepuluh tahun sekali.

Untuk Bali, solusinya adalah teknis pemilihan dibuat mudah. Misalnya pemberian suara dilaksanakan menjelang ke pura atau sesudahnya.

Andi juga mengatakan, KPU akan mengadakan penghitungan cepat hasil pemilu legislatif khusus untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Penghitungan cepat ini dimaksudkan untuk menghadirkan transparansi penghitungan suara, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi penghitungan suara secara terbuka. "Mekanismenya akan diatur lebih lanjut. Kita akan merekrut tenaga yang kompeten," katanya.

Sistem yang akan digunakan untuk penghitungan cepat ini melanjutkan dari sistem teknologi informasi yang telah tersedia pada 2004. Data sementara hasil penghitungan cepat berupa salinan rekapitulasi di panitia pemilihan kecamatan akan dikirimkan ke KPU pusat untuk dihitung.

Source : www.suarakarya-online.com

Survey Indo Barometer:Pengetahuan Pemilih Masih Sangat Rendah




TEMPO Interaktif, Jakarta: Survei Indo Barometer menemukan pengetahuan pemilih tentang pemilihan umum masih sangat rendah. Hal itu dinilai karena sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum masih kurang. "Masih banyak masyarakat yang belum tahu informasi pemilu," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer, Mohammad Qodari dalam Jumpa Pers "Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Pemilu 2009" di Hotel Atlet Century Park, Minggu (11/01).



Dalam survei itu, hanya sekitar 51,8 persen responden yang mengetahui dengan benar kapan pemilihan legsilatif diselenggarakan. Dalam cara memberikan suara, 61,3 persen responden masih memilih dengan mencoblos, hanya 24,6 persen responden memilih mencentang, 11,1 persen responden menyatakan sama saja dan 2,8 persen menyatakan tidak tahu.

Pemberian tanda pada dua kolom partai dan nama calon pun, kata Qodari, masih dinilai sah oleh pemilih. 60,8 persen responden menyatakan sah memberi tanda dua kali. "Mungkin masih terbawa budaya pada pemilihan sebelumnya," katanya.

Apalagi, kata Qodari, dirinya pernah ditanya oleh calon legislatif dari partai penguasa tentang cara memilih. "Caleg saja tidak tahu," katanya.

Indo Barometer merekomendasikan komisi pemilihan melakukan langkah sosialisasi yang lebih intensif. "Mengingat waktu yang semakin dekat. Padahal pemahaman dalam informasi pemilihan penting dalam menunjang keberhasilan pemilu," tegasnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafiz Anshary, mengatakan komisi telah melakukan upaya maksimal dalam sosialisasi pemilu. Misalnya, iklan di media. "Kami sudah beriklan beberapa kali, tapi bukan di prime time," katanya. Mengingat, lanjut dia, biaya iklan di prime time sangat mahal. "sedangkan anggaran sosialisasi sangat terbatas."

Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform, Hadar Navis Gumay, mengatakan sosialisasi perlu lebih digencarkan. Meski ada beberapa perubahan, misalnya dalam pemberian suara. "Tidak akan menghambat, tetapi justru akan menguatkan," katanya.

Survei dilaksanakan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1.200 orang dengan margin of error 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dipilih dengan metode multistage random sampling. Pengumpulan data dengan wawancara tatap muka yang dilakukan pada 16 Desember hingga 26 Desember 2008.


Source: http://kippindonesia.org/index.php?option=com_content&task=view&id=50&Itemid=9

Peran Pemantau Pemilu Tak Maksimal

Peran Pemantau dan Pengawas Pemilu tidak dapat berjalan dengan signifikan dan maksimal pada Pemilu 2009. Pasalnya, masih banyak kelemahan dalam aturan perundang-undangan dalam pengawasan dan pemantauan Pemilu. Karena itu, perlu banyak perbaikan untuk menjadikan Pemilu yang berkualitas.

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Malang, Ibnu Tricahyo, mencontohkan banyaknya pelanggaran Pemilu yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan baik. Buktinya, keputusan MK yang menyatakan pelaksanaan Pilgub di tiga kabupaten di Madura telah terjadi pelanggaran tersistem, struktural dan masif.

 Ibnu Tricahyo dalam Seminar Pemantauan Pemilu dan Launching KIPP Malang raya di Aula Pesma Al Hikam, kemarin.


“Hanya saja, tidak ada tindak lanjutnya, siapa yang salah dan siapa yang melakukannya tidak ada kelanjutan secara hukum,” kata Ibnu, dalam Seminar Pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial yang digelar dalam rangka Launching Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Malang raya, di Aula Pesma Al Hikam, kemarin.

Dijelaskan, kejahatan Pemilu harusnya masuk dalam delik hukum khusus yang setingkat dengan teroris. Pasalnya, kejahatan Pemilu itu luar biasa dampaknya. Hanya saja, selama ini kejahatan Pemilu tidak masuk dalam delik khusus.

Sebelumnya, Ketua PP. Otoda Malang itu pernah mengajukan hal tersebut, tapi ajuan itu tidak mendapatkan respon yang baik. Hingga saat ini tidak ada proses untuk mengarah ke ajuan delik khusus. “Jangan putus asa, pemantauan Pemilu menjadi tanggung jawab semua masyarakat. Karena itu saya sepakat, pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial. Masa ini harus dijalani, karena saat ini masa transisi,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten Malang, Andre Dewanto Ahmad memberikan masukan kepada KIPP terkait pola pemantauan Pemilu yang akan dilakukan nanti. Pola pemantauan KIPP yang dilaksanakan Pemilu 2004 atau Pemilu 1999 lalu sudah tidak dapat dilakukan lagi.

Pola pemantauan langsung dengan merekrut banyak relawan hingga sampai TPS akan sangat memakan banyak biaya yang besar. Pola pemantauan bisa melakukan dengan mengumpulkan alat bukti setiap pelanggaran yang terjadi. Salah satu yang paling mudah adalah memantau tahapan Pemilu.

“Kalau ada tahapan yang tidak sesuai, KIPP dapat menyempritnya. Misalnya, terkait logistik atau lainnya. Kalau ada pemantauan seperti itu dari KIPP, kami sudah menyiapkan jawabannya, ya dan akan kami benahi,” terang Andre sambil tersenyum.

Untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 2009, KIPP telah terbentuk di Malang raya. KIPP tidak hanya sekedar melihat dari luas proses pelaksanaan Pemilu, tapi lebih luas dari itu. KIPP turut menjadi bagian dari simpul masyarakat sipil yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat. (aim/udi) (muhaimin/malangpost)

Source: http://malangraya.web.id/2009/01/12/peran-pemantau-pemilu-tak-maksimal/

KIPP MALANG RAYA DIHARAPKAN FOKUS PADA PELANGGARAN PEMILU.

Mas FM, Kota Malang -Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Malang Raya diharapkan fokus pada pelanggaran pemilu.

Hal itu terungkap dalam Sarasehan dan launching KIPP Malang raya, dengan tema Pemantauan Pemilu sebagai gerakan sosial.

Sarasehan yang berlangsung sekitar 3 jam itu menghadirkan beberapa pemateri antara lain, Ketua KPU Kabupaten Malang yaitu Andry Dewanto Ahmad, Dosen Fakultas Hukum yaitu Ibnu Tri Cahyo, dan Doddy Wisnu Pribadi yang merupakan wartawan kompas.

Dalam penjelasannya, Ibnu Tri cahyo mengatakan, lembaga pemantau independen sangat diperlukan mengingat kinerja dari panwaslu di daerah terkadang tidak optimal.

Menurut Ibnu, kejahatan pemilu yang sampai saat ini terjadi, seharusnya dikategorikan dalam pidana khusus setingkat terorisme, karena kejahatan yang dilakukan dapat menghabiskan uang sampai miliaran rupiah. (FAN)

Source: http://www.masfmonline.com/dinoyo/r_maya.php?nID=7603&page=1

PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG, KABUPATEN MALANG, DAN KOTA BATU (10 JANUARI 2009)

Pasca Orde Baru Indonesia mengalami proses demokratisasi yang begitu cepat. Dibukanya keran kebebasan bagi rakyat membuat rakyat sangat leluasa menyampaikan pendapatnya, rakyat bebas mendirikan organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan partai politik pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 menjadi pemilu demokratis pertama di Indonesia pasca Orde Baru dengan diikuti oleh 48 partai politik. Gairah berdemokrasi yang besar tersebut membuat Indonesia disebut-sebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India.

Gairah berdemokrasi yang besar itulah yang kemudian menjadikan raison d'etre Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). KIPP bukanlah “barang baru” dalam sejarah demokratisasi di Indonesia. KIPP telah muncul sejak tahun 1996 ketika Orde Baru masih memegang kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa walaupun ditekan oleh rezim Orde Baru namun KIPP mampu eksis hingga hari ini.

Sebagai sebuah lembaga pemantau KIPP bukanlah organisasi yang sekedar melihat dari luar proses pelaksanaan pemilu. KIPP dengan prinsip independen, nonpartisan, dan berperspektif gender memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar memantau proses pemilu. KIPP turut menjadi bagian dari simpul masyarakat sipil yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat, advokasi demokrasi, penelitian dan pengembangan pemilu, dan mengkampanyekan pemilu demokratis. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil, dan juga terwujudnya kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Selain itu keberadaan KIPP yang di luar sistem membuat KIPP tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis manapun. Inilah yang membedakan KIPP dengan lembaga-lembaga pemantau atau pengawas pemilu lainnya, khususnya Panwaslu.

Dalam menjalankan fungsi pemantauannya KIPP bukanlah menjadi musuh dari penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. KIPP justru menjadi mitra dari keduanya dalam mewujudkan pemilu demokratis dengan senantiasa mengawasi dan mengkoreksi sikap dan tindakan dari keduanya yang tidak sesuai dengan visi terwujudnya pemilu yang luber dan jurdil. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mematangkan demokratisasi di Indonesia.

Berdasarkan dasar pemikiran tersebut itulah KIPP se-Malang Raya melakukan pembacaan pada tiga simpul yang ada dalam mewujudkan pemilu demokratis. Tiga simpul itun adalah penyelenggara pemilu, peserta pemilu (calon legislatif/partai politik), dan rakyat sebagai pemilih. Berdasarkan pembacaan terhadap ketiga simpul itulah KIPP se-Malang Raya melihat beberapa perkembangan akhir-akhir yang berpotensi memunculkan ketidaksiapan pemilu tahun 2009, dan menjadikan pemilu kali ini keluar dari rel demokrasi.

Pada simpul penyelenggaraan pemilu dalam skala Malang Raya, KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi kesiapan KPUD se-Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) dalam melakukan pemutakhiran data pemilih. KPUD se-Malang Raya perlu secara transparan mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang perkembangan kesiapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pemutakhirannya. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat mengetahui apakah haknya untuk memilih telah diakomodir oleh negara. Selain itu pengkomunikasian pemutakhiran DPT tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya DPT yang tidak akurat sehingga berpotensi memunculkan golput sebagaimana ketidakakuratan DPT di Kabupaten Jember (Radar Jember, 14 Desember 2008).

Dalam skala nasional KIPP se-Malang Raya merasa perlu mengkritisi pengajuan Perpres perubahan ke-8 Keppres Nomor 80/2003 oleh KPU. Perpres tersebut nantinya akan menjadikan penunjukan rekanan pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan dilakukan melalui penunjukan langsung. Pengadaan perlengkapan pemilu dengan penunjukan langsung tersebut membuat lembaga pengawas dan masyarakat tidak dapat memiliki akses untuk mengawasi proses penunjukan. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa model penunjukan langsung membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Pada simpul peserta pemilu (caleg/parpol), KIPP se-Malang Raya melihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu telah memunculkan dua sisi paradoks dalam proses demokratisasi. Di satu sisi, dipilihnya calon legislatif berdasarkan suara terbanyak membuat legislator yang terpilih nanti benar-benar representasi kedaulatan rakyat. Namun di sisi lain putusan MK tersebut berpotensi menjadikan persaingan yang sengit antar caleg mengarah pada permainan politik uang (money politic). Potensi politik uang tersebut didorong oleh persaingan perebutan kursi yang ketat, dimana caleg yang memiliki modal besar dapat dengan mudah menggusur caleg dengan modal minimalis. Potensi politik uang tersebut juga dipengaruhi oleh belum matangnya kedewasaan politik rakyat.

Pada simpul rakyat sebagai pemilih, KIPP se-Malang Raya melihat bahwa potensi munculnya golput masih tetap ada. Jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilkada di Malang Raya, maka potensi golput tetap tinggi. Misalnya, jika mengacu pada tingkat golput dalam Pilwali Kota Malang maka tingkat golput adalah 32 persen. Potensi tingginya golput tersebut dapat dicegah melalui pendidikan politik yang intens kepada rakyat Malang Raya. Di sinilah KIPP se-Malang Raya nantinya memegang peranan, tentunya bersama-sama dengan pihak penyelenggara pemilu.

Berdasarkan pembacaan pada ketiga simpul pemilu 2009 tersebut, KIPP se-Malang Raya menyatakan sikapnya sebagai berikut:

  1. KIPP se-Malang Raya akan selalu menjadi lembaga pemantau yang independen dan nonpartisan. Oleh karena KIPP se-Malang Raya tidak akan pernah dapat diintervensi oleh kepentingan politik pragmatis.

  2. KIPP se-Malang Raya dalam Pemilu 2009 akan menjalankan fungsinya dalam mewujudkan masyarakat sipil di Malang Raya yang demokratis melalui pemilu yang luber dan jurdil dan mewujudkan pula kesadaran dan partisipasi politik rakyat.

  3. KIPP se-Malang Raya menyerukan perlunya perbaikan kinerja KPU maupun KPUD se-Malang Raya, terutama pemutakhiran dan pengkomunikasian data pemilih. KIPP se-Malang Raya mengkhawatirkan potensi golput yang muncul akibat ketidakakuratan data pemilih.

  4. KIPP se-Malang Raya meminta Panwaslu se-Malang Raya untuk senantiasa aktif mengawasi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu dalam rangka mewujudkan pemilu demokratis.

  5. KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada parpol untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan sebagai media penjaringan amanat rakyat.

  6. KIPP se-Malang Raya menyerukan kepada masyarakat Malang Raya untuk berpartisipasi secara aktif dalam pemilu 2009. Bukan hanya dengan aktif menggunakan hak pilih namun juga aktif mengawasi pelaksanaan pemilu.

  7. KIPP se-Malang Raya mengajak pers di Malang Raya untuk mengawal pelaksanaan pemilu 2009 demi terwujudnya pemilu demokratis, luber, dan jurdil.


Demikianlah sikap KIPP se-Malang Raya untuk diperhatikan oleh setiap stakeholder Pemilu 2009 di Malang Raya.




Malang, 10 Januari 2009





Sigit Nurhadi Nugraha Ruhadi Rarundra

Ketua KIPP Kota Malang Ketua KIPP Kab.Malang






Felik Sad Windu

Ketua KIPP Kota Batu