Selasa, 24 Februari 2009

Putusan MK Perkuat UU Pers

JAKARTA, SELASA - Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang mengatur sanksi terhadap lembaga pers dan penyiaran yang melanggar pembatasan iklan kampanye. MK menyatakan pasal tersebut bertentangan langsung dengan UUD 1945.

Putusan itu dibacakan pada sidang terbuka di Gedung MK, Selasa (24/2). MK mengabulkan permohonan yang diajukan delapan pemimpin redaksi dari Harian Terbit, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Rakyat Merdeka, Media Bangsa, Koran Jakarta, Warta Kota, serta tabloid Cek dan Ricek.

Menurut MK, penjatuhan sanksi yang diatur dalam Pasal 98 Ayat 2, 3, 4 dan Pasal 99 Ayat 1 dan 2 bertentangan langsung dengan Pasal 28 E Ayat 3 dan Pasal 28 F UUD 1945. Konstitusi telah memberikan jaminan yang sangat tegas terhadap kebebasan berekspresi. Jaminan itu diwujudkan, antara lain, dengan mencabut keharusan adanya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan segala bentuknya.

Meskipun ketentuan sanksi tersebut dibatalkan, MK menyatakan tidak terjadi kekosongan hukum bagi perlindungan publik apabila lembaga penyiaran dan media cetak melakukan pelanggaran iklan kampanye.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan UU Pemilu cenderung menggeneralisasi institusi pers, yaitu media cetak dan lembaga penyiaran. Padahal, terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam UU No 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU No 40/1999. Lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum udara yang terbatas memerlukan perizinan dari Menteri Komunikasi dan Informatika serta Komisi Penyiaran Indonesia. Media massa cetak tidak memerlukan perizinan dari instansi mana pun.

Menanggapi putusan tersebut, Pemimpin Redaksi Harian Terbit Tarman Azzam menyatakan putusan tersebut sangat maju dan memahami soal kebebasan pers. Pada dasarnya, segala ketentuan mengenai pembredelan harus dilawan.

Ketua Dewan Pers Leo Batubara dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja, secara terpisah di Jakarta, menilai, keputusan itu menghargai keberadaan UU Pers dan UU Penyiaran.

Menurut Leo, aturan dalam UU No 10/2008 memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk mencabut izin media cetak yang dianggap melanggar prinsip keadilan dalam berita maupun iklan politik. Padahal, UU Pers telah menegaskan bahwa untuk penerbitan media cetak, tidak diperlukan izin sehingga tidak dapat dicabut izinnya.

”Peserta pemilu yang tidak puas dengan pemberitaan di media cetak tertentu bebas membuat koran sendiri,” katanya.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir menyambut baik putusan MK itu. Menurut dia, iklan menggerakkan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan pemilik media, tetapi juga industri pendukung lain. Apalagi jika penggunaan spanduk dan baliho juga dibebaskan.

”Bayangkan, ada ribuan orang yang memesan spanduk, poster, dan sebagainya, maka ekonomi akan berputar,” ujarnya.

Senada dengan Soetrisno, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi juga menyambut baik liberalisasi kampanye semacam ini. Namun, kebebasan jangan hanya ditujukan pada iklan yang ada di media massa, tetapi juga di luar ruang.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, keputusan itu bisa berdampak positif dan negatif. Positif karena partai akan semakin berlomba membuat iklan. ”Namun, saya khawatir akan makin banyak iklan yang negatif, saling serang, black campaign,” ujarnya.(ANA/MZW/INA/MAM)

http://indonesiamemilih.kompas.com/index.php/read/xml/2009/02/25/04173036/Putusan.MK.Perkuat.UU.Pers

Kamis, 19 Februari 2009

KPU Bisa Dinilai Menghalangi

Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum tidak berlarut-larut mewacanakan perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sebagai implementasi putusan MK soal suara terbanyak.

Apabila hal itu dilakukan terus-menerus, bahkan mengancam untuk kembali menggunakan Pasal 214, KPU dapat dinilai menghalang-halangi penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009.

Terkait dengan hal itu, Mahfud menyatakan ada konsekuensi politis dan hukum yang harus ditanggung KPU. ”Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara, seperti diatur dalam Pasal 309 Ayat (3) dengan hukuman 12 bulan hingga 24 bulan,” ujar Mahfud dalam jumpa pers, Rabu (18/2).

Mahfud menggelar jumpa pers khusus untuk menanggapi pernyataan anggota KPU, Andi Nurpati, yang dilansir media massa, Rabu (18/2). Andi mengatakan, apabila perpu terkait penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak tidak diterbitkan pekan ini, KPU bersiap mengeluarkan peraturan KPU untuk menggunakan kembali Pasal 214 UU No 10/2008 yang sudah dibatalkan MK (Kompas, 18/2).

Mahfud menegaskan, tidak semua putusan MK membutuhkan perpu atau revisi UU. Alasan KPU yang menyatakan bahwa putusan pengadilan (MK) bersifat konkret sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum adalah keliru. ”Saya ingatkan KPU agar tidak berwacana dengan soal-soal teori hukum,” katanya.

Mahfud juga mengingatkan KPU soal pengaturan terkait zipper system. Menurut Mahfud, UU No 10/2008 dan putusan MK tidak mengenal sistem tersebut. Tidak ada kewajiban bahwa di antara tiga calon anggota legislatif terpilih harus ada satu perempuan. Hal tersebut hanya berlaku pada penetapan caleg.

Mendagri Mardiyanto mengatakan, kalaupun jadi, perpu dikeluarkan karena ada kebutuhan, tidak merugikan pihak mana pun, dan juga tidak akan mengganggu proses yang sudah berjalan. Pihak pemerintah masih merumuskan materi perpu tersebut. ”Tapi, tidak akan lama,” katanya di Gedung DPR, Rabu.

Mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso, mengatakan, wacana perlu atau tidaknya perpu harus disudahi. Selain tidak produktif, wacana itu justru dapat mengganggu persiapan pelaksanaan pemilu.

KPU sebaiknya fokus kepada UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan bahwa pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda satu kali. Hal ini seharusnya menjadi perhatian lebih KPU dengan sosialisasi secara besar-besaran mengenai cara penandaan karena banyak warga yang belum tahu.

Hal senada juga dilontarkan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti. Menurutnya, wacana KPU untuk kembali ke nomor urut dinilai sangat tidak dapat diterima. KPU sudah cukup mengatur penetapan suara terbanyak tanpa perlu perpu.

Sumber : www.kompas.com

PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG: SOSIALISASI MINIM, PEMILU TERANCAM GAGAL! (54% TIDAK TAHU KAPAN PEMILU 2009 DIADAKAN)

Pemilu yang tinggal 1,5 bulan lagi menjadi perbincangan yang menarik saat ini. Namun sangat disayangkan, pembicaraan ini hanya sampai di golongan tertentu, seperti para caleg, kader-kader partai, KPU, atau Panwaslu. Pembicaraan tentang pemilu menjadi topik yang kering di kalangan masyarakat luas. Terlebih lagi di kalangan pelajar pemilih pemula.

Keringnya pemahaman pelajar pemilih pemula terhadap pemilu dapat dilihad pada hasil survey KIPP Kota Malang terhadap 300 responden pelajar pemilih pemula. Dari survey yang telah dilakukan KIPP Kota Malang pada beberapa siswa kelas 3 SMA, ternyata 54% di antara mereka belum mengetahui kapan pemilu akan diadakan. Yang lebih menarik dari hasil survey ini adalah tentang tata cara pemilihan nantinya, dimana yang biasanya pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos pada pemilu kali ini diganti dengan mencontreng. Lebih dari separuh pelajar pemilih pemula tidak mengetahui hal ini. Masih dari survey ternyata hanya 43% yang mengetahui pemberian tanda adalah dengan mencontreng, sedangkan 47% masih mengira pemberian tanda dilakukan dengan mencoblos, 9% lainnya mengaku tidak tahu. Dari hasil survei tersebut, kita dapat melihat betapa masih minimnya penetrasi budaya mencontreng di kalangan masyarakat.

Pemberian tanda dengan menconteng ini tampaknya juga lebih rumit dari sebelumnya. Pada surat suara nantinya akan terpampang gambar partai, nama partai, serta sederet nama calon legislatif yang diajukan. Nama-nama ini tentunya berukuran kecil, sehingga cara mencontreng juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Terdapat 25% responden yang tidak mengetahui di kolom manakah pemberian tanda pada surat suara yang dianggap sah. Sementara ada 6% responden yang justru berpotensi membuat suaranya tidak sah karena menganggap pemberian tanda harus dilakukan pada ketiga kolom dalam surat suara (gambar partai, dan nomor caleg, dan nama caleg). Padahal sesuai Pasal 153 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemberian tanda pada surat suara hanya 1 kali.

Hasil survey KIPP Kota Malang tersebut menunjukkan bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan pemilu kepada masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula. Minimnya sosialisasi tersebut akan menjadi ancaman bagi tingkat partisipasi pemilih. Kurangnya sosialisasi tentang metode pemberian tanda pada surat suara juga dapat menyebabkan kekacauan pada hari pemungutan suara karena banyaknya suara yang tidak sah akibat minimnya sosialisasi budaya mencontreng.

Fakta minimnya pemahaman responden pelajar pemilih pemula tersebut sungguh ironis karena sebenarnya mereka adalah golongan yang termasuk dekat dengan sarana informasi, baik berupa koran, televisi, bahkan beberapa diantaranya mengaku sering mengakses internet. Hanya 3% responden yang mengaku tidak pernah menonton berita di televisi, dan 44% mengaku sering mengakses internet. Fakta ini menunjukkan bahwa terbukanya akses informasi tidak akan berpengaruh pada pemilih jika ternyata sosialisasi oleh penyelenggara Pemilu justru minim

Hasil survey ini memunculkan kekhawatiran atas dapat tidaknya pemilu kali ini terselenggara dengan sukses. Bagaimana mungkin pemilu dapat memunculkan wakil rakyat yang legitimate jika nantinya jumlah golput lebih banyak daripada jumlah yang menggunakan hak pilih. Bagaimana pula pemilu dapat dikatakan sukses jika nantinya banyak suara yang tidak sah karena kurangnya sosialisasi tentang hal-hal teknis pemilu kepada masyarakat. Kegagalan pemilu bukanlah sekedar kerugian materiil dengan mahalnya biaya yang telah dikeluarkan, namun juga kerugian moril bangsa ini karena telah gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang representatif.

Keringnya pemahaman masyarakat, khususnya pelajar pemilih pemula, terhadap pemilu menjadi tanggung jawab setiap stakeholder pemilu. Hal ini bukan sekedar tanggung jawab penyelenggara pemilu yang minim sosialisasi, namun juga tanggung jawab partai politik dan caleg-calegnya. Bukankah salah fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik kepada rakyat? Lalu di mana peran partai politik saat ini? Jangan sampai partai politik hanya berburu suara namun melupakan fungsi idealnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, KIPP Kota Malang menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Bahwa KPU Kota Malang ternyata tidak maksimal dalam mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu terutama pada kalangan pelajar pemilih pemula. Oleh karena itu KPU Kota Malang harus sesegera mungkin mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu dengan menggandeng elemen-elemen masyarakat di Kota Malang.
2. KPU Kota Malang harus lebih intens mensosialisasikan hal teknis pemberian tanda pada surat suara. Minimnya sosialisasi dalam hal teknis tersebut dapat menjadi ancaman tingginya suara yang tidak sah akibat salah dalam memberikan tanda.
3. Partai politik dan caleg-caleg juga harus ambil bagian dalam proses pendidikan politik kepada rakyat. Keringnya pengetahuan politik masyarakat adalah wujud kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi pendidikan politik.
4. Media massa di Kota Malang perlu turut serta mensosialisasikan hal-hal teknis pemilu pada masyarakat. Hal ini menjadi bentuk konkrit peranan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.

Selasa, 10 Februari 2009

PRESS RELEASE KIPP KOTA MALANG: KIPP KOTA MALANG MENDUKUNG PROSES PEMILU 2009 TANPA DISKRIMINASI

Pemilihan Umum 2009 merupakan momen yang sangat penting dalam proses demokratisasi di Indonesia. Karena melalui Pemilihan Umum ini, rakyat Indonesia menyalurkan aspirasinya kepada wakil rakyat yang dipercaya. Melalui mekanisme ini rakyat menyerahkan kedaulatannya dalam demokrasi keterwakilan kepada wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mapun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Bahwa tiap-tiap warga negara memiliki hak dan peluang yang sama untuk dipilih dan memilih berdasarkan konstitusi, demikian pula memiliki kesempatan yang sama pula untuk dapat anggota lembaga legislatif pada Pemilu 2009. Untuk itu, seyogyanya tidak perlu ada pembatasan terhadap pilihan rakyat serta pembedaan-pembedaan (diskriminasi) ataupun pengistimewaan/pengkhususan dalam bentuk penguatan (afirmasi) ataupun bentuk lainnya bagi kelompok tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 mengukuhkan pendapat ini. Bahwa yang berlaku dalam penentuan anggota legislatif pada Pemilu 2009 didasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut. Hal ini menunjukkan tidak ada diskriminasi dalam proses penentuan anggota legislatif pada Pemilu 2009 nanti.

Berkaitan dengan penetapan Calon Legislatif (Caleg) Perempuan, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah memberikan affirmative action bagi perempuan. Hal ini tampak pada pasal 55 Undang-Undang ini (lihat pasal 55). Selayaknya kita menghormati Undang-Undang ini sebagai aturan pokok dalam Pemilu 2009. Namun dalam penetapan anggota lembaga legislatif, tetap berpegang pada prinsip demokrasi di mana keputusan diambil berdasarkan kedaulatan rakyat, maka yang berhak terpilih adalah yang meraih suara terbanyak tanpa mengabaikan kesempatan bagi perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama.

Usulan adanya affirmative action bagi perempuan dengan memberlakukan Zipper System dalam dalam penetapan hasil Pemilihan Umum 2009 kurang tepat. Karena hal ini justru akan menjatuhkan derajat perempuan yang menginginkan kesetaraan derajat dan peran antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender). Adanya zipper system merupakan penghinaan bagi kaum perempuan itu sendiri, karena zipper system dalam bentuk apapun menunjukkan ketidaksiapan kaum perempuan dalam bidang politik.

Dengan menghapus pemberlakuan penetapan calon legislative terpilih berdasarkan nomor urut, maka otomatis MK juga memacu semangat kompetisi bagi perempuan dengan menghargai kemampuan perempuan dalam persaingan politik. Penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga menunjukkan adanya level-playing field yang sama antara caleg laki-laki dan perempuan dimana hal ini selaras dengan prinsip kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam kebijakan affirmative action. Adanya anggapan bahwa caleg perempuan tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk bersaing dengan caleg laki-laki adalah sebuah kekhawatiran yang berlebihan yang justru meremehkan potensi perempuan sendiri.

Dengan metode suara terbanyak maka yang seharusnya dilakukan oleh caleg perempuan adalah memperkuat basis dukungan mereka. Penguatan basis dukungan ini tidak hanya diperlukan saat meraup suara saja, melainkan juga selama masa jabatan mewakili rakyat di institusi pemerintahan. Memberikan perlakuan khusus kepada perempuan dalam penetapan calon terpilih lebih terkesan meragukan kemampuan perempuan dalam berkompetisi meraih suara dukungan, bagaimanapun kualitas mental calon wakil rakyat otomatis teruji pada tahap awal kompetisi meraih suara dukungan rakyat.

Keputusan MK yang langsung bisa ditindaklanjuti oleh KPU maupun KPUD ini meski mendapat reaksi keras dari kalangan perempuan, tetap harus segera diberlakukan sebagai kepastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2008.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka dengan ini Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kota Malang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mendukung sepenuhnya proses Pemilihan Umum 2009 secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luberjurdil) tanpa adanya pembedaan (diskriminasi) dalam bentuk apapun.

  2. Mengharapkan lembaga penyelenggara Pemilihan Umum 2009 (KPU, KPUD Provinsi, KPUD Kota/Kabupaten) untuk tidak menggunakan Zipper System dalam penetapan anggota lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 pada tingkat Nasional, Provinsi, maupun Kota/Kabupaten.

Kamis, 05 Februari 2009

Operasi Atribut Parpol Berlanjut

KLOJEN - Pembersihan atribut Parpol (partai politik) terus digalakkan. Tuntas melucuti atribut parpol di sisi selatan Kota Malang, kemarin Satpol PP Pemkot menyisir kawasan Jl Ijen. Atribut yang ditanam di tengah taman dan sekitarnya tak luput dari penertiban.

Kabid operasional dan pengawasan Satpol PP Pemkot Malang Handi Priyanto menjelaskan, sesuai rencana awal, penertiban atribut akan dilakukan meluas di seluruh Kota Malang. Utamanya, atribut parpol yang menyalahi Perwakot No. 3/2009 tentang penetapan lokasi pengawasan dan tata cara pemasangan alat peraga kampanye pemilu. "Semua akan dibersihkan tanpa kecuali," ujarnya.

Selanjutnya, hasil penertiban itu dikandangkan di kantor Satpol PP dengan masa toleransi tiga hari. Jika dalam tiga hari atribut tidak diambil parpol bersangkutan, maka dianggap sebagai barang sitaan. "Sampai sekarang terhimpun ratusan, bahkan mungkin sudah seribu lebih atribut parpol yang ditertibkan," kata Handi.

Terpisah, anggota panwaslu divisi pengawasan dan hubungan antar lembaga Ashari Husen menambahkan, operasi atribut parpol tersebut akan dilakukan hingga tuntas. Artinya, sampai semua atribut parpol yang melanggar Perwakot 3/2009 habis. Bahkan, Jumat (6/2) nanti penertiban atribut akan lebih intensif dilakukan. "Besok (hari ini) Panwascam dilantik di Balai Kota. Begitu dilantik, Panwaslu akan langsung konsolidasi," kata Ashari.

Selain konsolidasi dengan Panwascam, menurut Ashari pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Satpol PP di tingkat kecamatan. Dengan begitu, atribut parpol yang selama ini belum terjangkau karena lokasinya di dalam pemukiman penduduk bisa diatasi. "Jumat, tim gabungan langsung bergerak. Seterusnya sampai penertiban selesai," tandasnya.

Lebih lanjut, soal pengamanan hasil operasi sepenuhnya diserahkan Panwaslu pada Satpol PP. Tapi, jika penertiban itu dilakukan saat masa hari tenang jelang pencoblosan caleg maupun Pilpres, maka sitaan dihandel langsung oleh Panwaslu. (nen/lia)

Pelibatan Anak Dalam Kampanye Pemilu Merupakan Tindak Pidana Pemilu

Jakarta, kpu.go.id Komisi Perlindungan Anak (Komnas Anak) hari ini Kamis, 5 Februari 2009 berkonsultasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk menyampaikan sejumlah hal berkenaan dalam pelibatan anak-anak dalam kampanye Pemilu yang merupakan tindak pidana pemilu. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat 1 huruf (a) UU No. 23/2002 tentang Perlindunga Anak, menyebutkan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Pelanggaran terhadap ketentuan, Pasal 87 UU No. 23/2002 merupakan tindak pidana pelanggaran Hak anak dan dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah).

Dalam acara tersebut hadir Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary AZ, Anggota KPU Andi Nurpati, Abdul Aziz, Samsul Bahri, Sri Nuryanti, Sekjen KPU Suripto Bambang Setyadi serta pejabat Setjen KPU, sedangkan dari Komnas Anak dipimpin oleh Ketuanya Seto Mulyadi didampingi Sekjen Komnas Anak Arist Merdeka Sirait serta para pengurus.

Komnas Anak, meminta kepada KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10/ 2008 tentang Pemilu untuk mengingatkan dan mensosialisasi ketentuan Pasal 84 ayat 2 huruf (k) kepada seluruh Parpol peserta Pemilu untuk tidak melibatkan Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak pilih khususnya tidak melibatkan anak-anak dalam pemeran iklan kampanye Pemilu. Perlu melakukan penegakan hukum terhadap Partai Politik peserta pemilu yang melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye, baik dalam kampanye fisik seperti rapat umum, pemasangan atribut kampanye partai maupun iklan kampanye di media elektronik peserta Pemilu.

Ketiga, perlu diambil inisiatif menyusun peraturan KPU mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye dan pemberian sanksi sesuai dengan ketentuan pasal 100 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Dalam dialog antara Komnas Anak dan anggota KPU, terlontar keinginan menyusun semacam aturan yang mensinergikan aturan UU No 23/2002 Tentang Perlindungan anak dan UU 10/2008 tentang Pemilu, sehingga secara kongkrit pelarangan anak dalam kampanye oleh Parpol peserta Pemilu dalam kampanye, bisa dicegah. Untuk itu KPU perlu berkoordinasi dengan Bawaslu, Polri, KPI dan Komnas Perlindungan Anak. Tidak ada ”grey area” lagi dalam aturan Undang-undang dan peraturan KPU.

Anggota KPU mengharapkan perlu ada upaya lain, antisipasi agar anak-anak tidak dikutsertakan dalam kampanye. Karena Parpol peserta Pemilu sering mengabaikan rambu-rambu yang ada dalam peraturan perundangundangan tentang pelarangan anak ikut dalam kampanye.

Ketua Komnas Anak Seto Mulyadi menyambut baik gagasan ini dan berharap agar ”menjunjung tinggi hak anak yang terlibat dalam kampanye, karena anak-anak yang dipaksa ikut dalam kampanye sering frustrasi”.Pertemuan itu diakhir dengan konferensi pers dengan wartawan.(FS/Redaktur)